Sejarah Lahirnya Hari Santri
Santri dan Pondok Pesantren adalah dua hal yang tak terpisahkan dari Sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Sebagai bentuk pengakuan negara terhadap peran dan kontribusi santri maka tanggal 22 Oktober di tetapkan sebagai Hari Santri Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Penetapan Hari Santri Nasional ini tidak terlepas dari sejarah perjuangan oleh para ulama dan santri melalui Revolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim ASy'ari pada tahun 1945.
Melalui pesantren, santri mengintegrasikan pendidikan agama dan kebangsaan, memberikan kontribusi dalam berbagai bidang termasuk pengembangan pendidikan. Kini, hampir delapan dekade kemudian, santri menghadapi medan perang yang berbeda. Bukan lagi perang fisik melawan penjajah, melainkan perang pemikiran, perang identitias, dan perang relevansi di tengah arus globalisasi yang deras. Pertanyaanya: Bagaimana pendidikan santri dapat tetap eksis dan relevan di era modern tanpa kehilangan jati dirinya? Kajian ini menjadi penting karena hingga kini, persepsi terhadap santri masih sering dikaitkan dengan kehidupan pesanten yang dianggap terpisah dari dinamika modernisasi dan globalisasi.
Pesantren: Warisan Peradaban
Dalam perkembangannya pesantren mampu tumbuh ditengah-tengah arus modernitas, tentu saja tampil dengan wajah baru yang transformatif. Berbicara terkait transformasi pesantren kearah modernisasi, hal penting yang harus menjadi perhatian kalangan pesantren adalah sinergi modernisme dengan "dosis" yang tepat. Jika tidak hal ini dikhawatirkan akan memicu munculnya masalah-masalah baru.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, keberadaan pesantren diperkirakan sekitar abad 15 M. Tradisi yang dikembangkan di dalam lingkungan pesantren adalah sinergi antara kearifan lokal dengan nilai-nilai keislaman. Pesantren memiliki lima elemen khas yang membentuk ekosistem uniknya: kiai sebagai figur sentral, santri sebagai pencari ilmu, pondok sebagai tempat tinggal, masjid sebagai pusat aktivitas spiritual, dan kitab kuning sebagai sumber pengetahuan klasik.
Di pesantren, santri tidak hanya belajar membaca kitab, tetapi menghidupi isinya. Mereka ditempa dengan nilai ketaqwaan yang bukan sekadar ritual, tetapi kesadaran akan pengawasan Ilahi dalam setiap langkah hidup. Kesederhanaan bukan kemiskinan, melainkan pilihan hidup untuk fokus pada substansi, bukan gemerlap duniawi.
Pesantren juga ingin mencetak santri yang mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian santri terbentuk dari kebiasaan mengurus diri sendiri bahkan mengelola organisasi santri sendiri. Tidak hanya itu, pesantren juga bertujuan memperkuat persaudaraan dan kebersamaan di antara santri. Persaudaraan terjalin kuat karena mereka hidup bersama, makan bersama, belajar bersama, dalam ikatan yang melampaui sekat suku, daerah, atau status sosial.
Metode pembelajarannya pun unik. Sorogan adalah pembelajaran individual di mana santri membaca kitab di hadapan kiai satu per satu, mendapat koreksi, penilaian dan bimbingan langsung oleh kiai. Bandongan atau Wetonan adalah pembelajaran klasikal dimana kiai membacakan dan menjelaskan kitab, sementara santri mendengarkan dan mencatat. Halaqah adalah diskusi melingkar yang mengasah kemampuan berpikir dan berargumentasi mengenai ajaran agama. Metode-metode ini bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi pembentukan karakter yang mendalam.
Gelombang Modernitas: Berkah atau Ancaman?
Memasuki revolusi industry 4.0 yang ditandai dengan pola komunikasi serba digital (Internet of Things) dunia berubah dengan cepat. Pendidikan modern menghadirkan paradigma baru yang berbeda dengan tradisi pesantren. Pendidikan modern menekankan kompetensi terukur, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, dan keterampilan abad 21. Santri dituntut memiliki literasi digital untuk mengakses dan memverifikasi informasi. Penguasaan bahasa asing, menjadi kebutuhan untuk mengakses khazanah keilmuan global. Pemahaman tentang sains dan teknologi diperlukan agar santri tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga kontributor dalam perkembangan peradaban. Masyarakat pun tidak lagi puas dengan lulusan pesantren yang hanya mahir membaca kitab kuning, tetapi juga mengharapkan mereka mampu menjadi guru profesional, pengusaha yang sukses, dokter yang kompeten, insinyur yang inovatif, dan pemimpin yang visioner.
Pertanyaannya: Apakah ini bentuk tekanan yang mengkhianati esensi pendidikan santri, ataukah justru peluang untuk membawa nilai-nilai pesantren ke ruang yang lebih luas?