Pernahkah saat berjalan berjalan di sebuah desa adat di Bali, lalu merasakan ketenangan yang berbeda? Rumah-rumah tampak selaras dengan pura, sawah hijau menghampar, dan udara sejuk berhembus lembut. Semua tertata rapi, seolah bukan hanya tangan manusia yang bekerja, tetapi juga ada "aturan semesta" yang menjaga keseimbangan. Fenomena ini bukan kebetulan. Ia lahir dari filosofi Tri Hita Karana, sebuah kearifan lokal yang mengajarkan harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam.
Di era modern, saat pembangunan kota sering mengorbankan ruang hijau dan pendidikan kerap melupakan nilai-nilai spiritual, konsep Tri Hita Karana kembali relevan. Ia menawarkan paradigma: membangun bukan sekadar fisik, tetapi juga jiwa; mendidik bukan sekadar mencetak pintar, tetapi juga membentuk manusia utuh. Lantas, bagaimana implementasi Tri Hita Karana dalam arsitektur, tata ruang wilayah, dan integrasinya dalam pendidikan?
Pembangunan dewasa ini kerap menghadirkan dilema. Kota-kota besar di Indonesia tumbuh cepat, namun juga menyisakan masalah: banjir, polusi, kemacetan, dan hilangnya ruang hijau. Di sisi lain, pendidikan kadang lebih menekankan capaian akademis, tetapi kurang memberi ruang pada pembentukan karakter dan harmoni dengan lingkungan.
Di tengah situasi itu, Tri Hita Karana menawarkan jawaban. Filosofi yang lahir dari kebudayaan Bali ini tidak hanya hidup dalam ritual keagamaan, tetapi juga menjiwai arsitektur rumah, tata ruang desa, bahkan cara masyarakat bertani. Ia menekankan keseimbangan: spiritual (parahyangan), sosial (pawongan), dan ekologis (palemahan).
Jika prinsip ini diterapkan dalam arsitektur modern, tata ruang kota, dan pendidikan, kita tidak hanya membangun gedung megah atau kurikulum canggih, tetapi juga ruang hidup yang sehat, berkelanjutan, serta pendidikan yang menumbuhkan manusia seutuhnya. Dengan demikian, Tri Hita Karana bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga solusi kontemporer bagi tantangan global.
Tri Hita Karana berarti "tiga penyebab kebahagiaan". Unsurnya:
- Parahyangan: hubungan harmonis manusia dengan Tuhan.
- Pawongan: hubungan harmonis antar-manusia.
- Palemahan: hubungan harmonis manusia dengan alam.
Ketiganya saling terkait. Jika salah satu rusak---misalnya hubungan manusia dengan alam---maka kebahagiaan pun terganggu.
Adapun Implementasi Tri Hita Karana dalam arsitektur dan tata ruang antara lain sebagai berikut.
Aspek Parahyangan
Pada rumah tinggal penempatan Sanggah atau Merajan (tempat suci keluarga) di bagian Utama Mandala (kaja-kangin), yaitu arah timur laut rumah yang dianggap paling suci. Tata ruang ini mengikuti konsep Sanga Mandala atau Asta Kosala-Kosali, di mana area suci selalu berada di posisi paling utama dan tinggi. Fungsi dari kawasan Parahyangan adalah menjadi pusat spiritual keluarga untuk melakukan persembahyangan, yadnya, dan menjaga keseimbangan rohani penghuni rumah.
Pada tingkat desa, Pura Puseh dan Pura Desa ditempatkan di Kaja-Kangin (arah gunung-timur laut), yang diyakini sebagai arah suci menuju Sang Hyang Widhi. Lokasi pura ditempatkan di posisi tertinggi dalam desa, menunjukkan penghormatan kepada Tuhan. Pada suatu instansi, misalnya sekolah, kantor atau hotel memiliki tempat suci sebagai tempat peribadatan baik Pura, mushola, ataupun tempat suci lainnya.