Lihat ke Halaman Asli

Sri Mulyani dan Kehidupan Praja IPDN

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya terpana kepada sosok Sri Mulyani. Sosok wanita Indonesia yang begitu berkarakter. Terlepas dari kontroversi kasus Bank Century, saya sepaham dengan salah satu tulisan media cetak bahwa bangsa ini telah kehilangan 1 lagi aset bangsa ini.

Lalu, kemana arah tulisan ini menuju? Apakah sedang memprovokasi agar kita mengkritik sikap SMI atau menyalahkan SBY atas kekacauan birokrasi ini? Tentu tidak, bangsa ini terus berusaha bangkit untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan demokrasi. Tapi itulah, wujud impian itu selalu di masa yang akan datang, dan kenyataan hidup selalu seperti sekarang ini.  melihat prestasi yang diraih ibu SMI, saya berkeinginan untuk menggantikan ibu SMI setelah lengser, tapi kenyataanya saya masih seorang praja. Yah, saya adalah seorang praja (peserta didik di IPDN) yang berkampus di jl. Cendrawasih kota Makassar.

Berkat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 tahun 2009 kami ditetapkan untuk menjalani pendidikan di kampus daerah. Sebanyak 400 praja yang merupakan perwakilan di tiap kabupaten se-Indonesiamenempuh pendidikan kepamongprajaan di kampus daerah . Pelaksanaan program studi di daerah didasarkan pada karakteristik daerah masing-masing. Dan 600an sisanya berada di kampus pusat Jatingangor, Jabar. Untuk prodi manajemen keuangan daerah bertempat si Sumatera Barat, prodi Manajemen Pembangunan di Riau, manajemen kependudukan di Manado-yang tahun ini baru di buka- dan saya memilih Makassar dengan prodi pemberdayaan masyarakat.

11 januari 2009 untuk pertama kali kami menginjakkan kaki di tanah Hasanuddin ini. Begitu banyak kisah yang terlukis indah di sini. Yah, indah meski alur kehidupan di dalam kampus tidak selamanya menyenangkan.

Betapa sulitnya menyamakan pemahaman antara orang Batak, Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, atau Papua . Semuanya memiliki sudut pandang dan sikap yang berbeda ketika menanggapi sebuah masalah. teman-teman saya yang dari Jawa lebih setuju Ibu SMI mundur, yang Batak malah menuntut untuk diproses hukum dulu. Di sinilah sayamenyadari bahwa menyatukan perbedaan untuk satu kesatuan membutuhkan pengorbanan yang tak terukur oleh nilai materi sekalipun.

Apalah jadinya jika tempo dulu para pahlawan kemerdekaan gagal mempersatukan keanekaragaman bangsa ini ? Rasa takjub saya kepada para pejuang terdahulu yang telah berhasil menyatukan multikultur bangsa Indonesia meski dengan segala keterbatasan dan kesederhana yang ada sampai pada keberhasilan merebut kemerdekaan. maka bagi saya, semuanya menjadi pelajaran hidup yang begitu berarti . Semua kisah hidup yang telah saya rasakan di sini begitu indah untuk dikenang tapi tidak untuk diulang.hehehe

Melihat pandangan orang mengenai kehidupan praja, kata merekajadi praja itu hidupnya selalu senang karena tidak perlu khawatir makan apa besok, tidak bayar uang kos, apalagi harus memikirkan tunggakan SPP. makan  uang rakyat tapi tidak perlu takut di kejar KPK seperti ibu SMI, pokoknya asyik, katanya. Dan bagi saya, Jadi praja itu memang “asyik tapi berat”. Saya ingin memulai dengan yang asyik-asyik dulu dan itu bentuknya bukan karena kelengkapan fasilitas yang serba lengkap dan gratis- sangat saya pahami sepenuhnya berasal dari rakyat- melainkan wujud “asyik” itu saya dapati ketika bisa berkenalan dengan manusia Indonesia dari sabang sampai merauke. Aduhai, punya banyak teman dari segala penjuru Indonesia dalam tempo sesingkat-singkatnya dan bisa menjelajahi daerah-daerah untuk menikmati karunia Tuhan tanpa perlu takut kesasar atau kehabisan uang, betapa bahagianya. Memahami karakter yang berbeda dari seorang menjadi sebuah tantangan buat saya. Yah, saya jadikan hal tersebut sebagai tantangan yang akan mendatangkan peluang baik untuk saya agar bisa berbenah diri. Mencoba melengkapi diri dari kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki. dan Jika 98 saja tidak bisa saya pahami bisa dibayangkan kelak bagaimana saya bisa berbuat untuk masyarakat dengan beribu karakter yang berbeda.

Menyadari hal tersebut, saya bersyukur menjadi praja ketimbang terpilih menjadi Menkeu. Pada saat menjadi praja, berbuat salah adalah hal yang wajar karena di sinilah tempat kami berbenah diri, menyiapkan segala bekal ilmu untuk terjun kelapangan . ketika menginjakkan kaki di pintu gerbang kesatriaan IPDN maka yang saya bawa bukanlah hanya nama pribadi dan keluarga, tetapi yang terutama adalah daerah asal saya. Tidak jarang daerah harus menerima malu, karena beberapa utusannya harus di Drop Out dari kampus karena melanggar Petadupra (Pedoman tata kehidupan Praja).

Tapi  itulah, Public mengharapkan kami harus sempurna. publik begitu marah ketika mengetahui ketika seorang alumnus IPDN melakukan sebuah kesalahan. Namun ketika prestasi ditorehkan oleh purna praja dalam memimpin suatu wilayah atau organisasimerupakan hal yang biasa-biasa saja, waajaar . Saya dapat memahami, Orang lebih mudah mengingat hal – hal yang buruk daripada hal-hal yang baik. Namun apakah bijak jika kita selalu mempersalahkan tanpa memberi solusi, saling menjatuhkan dan tidak ingin memperbaiki?

Harapan public untuk sekolah saya memang sangat tinggi, seperti harapan rakyat kepada Menkeu yang baru nanti. inilah yang perlu saya wujudkan. Praja dan Sri Mulyani hanyalah manusia yang biasa-biasa saja, tak luput dari alpa dan salah. Dengan memahami keadaan yang ada, kami (praja IPDN)berusaha terus berbenah diri. Tanpa dukungan dari masyarakat kami pun hanya menjadi biasa saja.

ket. foto : ibu mulyani dengan senyum khasnya.....Peace -_-V

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline