Lihat ke Halaman Asli

Karyati Niken

Content Creator dan Blogger Entrepreneur

Jalan Ngalor-Ngidul

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1294118563600932695

[caption id="attachment_83220" align="alignleft" width="150" caption="Rainbow Bridge"][/caption]

Pagi menjelang siang, tiba-tiba suasana hati berubah. Harapan yang dipupuk sejak malam hingga pagi sirna seketika. Bingung, kesal, marah, mikir, semua berkelebat di kepala. Panas rasanya.

Akhirnya kuputuskan berjalan ke luar rumah tanpa arah dan tujuan. Karena aku sebenarnya memang sudah bersiap-siap, sudah rapi, sudah cantik karena ingin pergi keluar hari itu dengannya. Nyatanya batal tanpa kejelasan.

Sepanjang jalan menuju depan komplek rumah, linglung tak tahu ingin pergi kemana. Alternatif tempat berkelebat satu persatu di pikiran. Angkutan pertama yang datang, itu yang aku naiki, M18 jurusan pondok gede-kampung melayu.

“Kenapa? Kok nggak tegas? Pembicaraan ngalor ngidul nggak jelas. Pantaskah aku diperlakukan seperti ini olehnya?,” sejuta tanya bermunculan. Ayat-ayat kursi yang terucap di bibir tak mampu membendung air mata yang sudah menggenang.

Tiba di kampung melayu, melihat halte busway, “Baiklah, aku naik busway saja!” Entah ingin pergi kemana aku sebenarnya. Monas, mungkin aku bisa sambil duduk di taman dan membaca buku yang kebetulan sudah ada di dalam tas.

Halte monas. Tapi aku tak ingin bergerak turun dari busway. Ok, dalam hati bergumam, masih ada halte dan tujuan lain. Tubuh dan mata mulai terasa panas.

Harmoni. Transit busway. Ingin balik ke monas atau menunggu waktu solat dzuhur di masjid Istiqlal. Tapi langkah kaki justru membawa ke koridor jurusan Kota.

Kota dan keramaian orang-orang. Aku duduk di dalam restoran AW. Membeli segelas AW Float berukuran medium. Duduk di pojok, sendiri sambil menundukkan kepala. Air mata mengalir. Beberapa pengunjung memperhatikanku. Aku tak peduli.

Satu jam sudah dan waktu dzuhur tiba. Solat. Aku ingin menghadapNya. Aku ingin mengadu padaNya. Aku ingin meminta padaNya.

Istiqlal, ya Masjid itu sepertinya tempat yang cocok buatku. Lima menit mengantre busway, sms masuk ke hp Sony Ericson-ku. “Kita ke masjid Al Azhar yuk, Ketemu di sana ya?” sms salah seorang teman sepertinya membuat pikiran dan tubuhku “ada tempat singgah”.

Aku tak tahu, sanggup tidak bertemu dengannya. Allah beri petunjuk. Aku yakin itu. Agar aku tak benar-benar tersesat di antara keramaian kota Jakarta minggu siang itu.

Dan kembali sepanjang jalan selalu berkata dalam hati, “Pantaskah aku diperlakukan seperti ini?” hingga air mata menggenang dan disaksikan oleh beberapa penumpang. Ayat kursi juga berkali-kali aku lantunkan agar tak benar-benar jatuh.

= Image dari : yuuknowwhat.blogspot.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline