Lihat ke Halaman Asli

Tety Polmasari

ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja

Kala Penonton TV Tak Lagi Setia Setiap Saat

Diperbarui: 30 Agustus 2020   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasiana.com

Studi Nielsen pada 2018 menyebutkan masyarakat menonton televisi rata-rata 4 jam 53 menit per hari, sementara menonton di internet sekitar 3 jam 14 menit. Beda tipislah. Di tahun sekarang bisa jadi durasi menonton di internet menjadi lebih lama. Dengan kata lain, durasi menonton di internet tidak beda jauh dengan durasi menonton televisi.

Ambil contoh, saya, anak-anak, dan suami. Hampir bisa dibilang kami sangat jarang menonton televisi, meski kami berlangganan TV kabel. Tetap saja aktifitas menonton lebih banyak melalui handphone. Itu juga bukan acara-acara yang disiarkan televisi.

Di rumah, televisi hanya menyala ketika si mbak  menyeterika. Ia menyetrika sambil menonton. Setrikaan selesai, ia tidak melanjutkan tontonannya lagi. Ya tidak sampai 2 jamlah.

Dan, yang seperti saya banyak. Ketika perangkat gawai dan internet sudah menjadi bagian dari aktifitas sehari-hari, bisa dimaklumi cara menonton masyarakat kita mulai berubah. Tidak lagi menonton secara konvensional. Ini jelas tidak bisa dihindari. Apalagi menonton di layar hp bisa dilakukan di mana saja selama tersedia kuota dan jaringan internet.

Seperti halnya ketika kita tak perlu lagi ke pasar atau ke toko atau ke restoran untuk sekedar berbelanja, karena semuanya bisa dilakukan secara online. Sudah jamannya memang begini. Ke depan, bisa jadi terjadi perubahan lagi.

Jadi, saya agak heran bin bingung juga mengapa dua industri pertelevisian Indonesia milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo, PT Visi Citra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), mengajukan permohonan uji materi terhadap UU 32/2002 ke MK dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020. Sidang pertama sudah digelar pada 22 Juni lalu.

Pasal yang diuji adalah pasal 1 ayat 2, yang bunyinya: "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."

Kalau tuntutan platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin, bagaimana nasib mereka-mereka yang "mengais" rejeki di situ? Akankah Youtube, Instagram, Facebook, dan lain-lain jika mereka tidak mengajukan izin seketika ditutup? 

Jelas ini merugikan mereka, termasuk juga merugikan saya kelak jika suatu ketika saya akan memanfaatkan platform media sosial seperti mereka. 

Bagi yang penghasilannya sekelas "sultan" mungkin bukan sesuatu masalah untuk mengurus perijinan jika kelak gugatan bos RCTI dan INews terhadap uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dikabulkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline