Di grup kelas tanpa guru, temanku mengirim pesan "Finally, weekend is coming!" dan semua murid yang ada di grup tersebut membalas dengan berbagai emoji. Tapi saat temanku yang satunya mengirim pesan "Akhirnya, liburan akan datang kawanku!" anehnya tidak ada yang merespon satupun. Seakan bahasa Indonesia kehilangan daya tariknya di mata anak muda. Fenomena ini bukan hal baru. Di obrolan sehari-hari, bahkan di poster kegiatan sekolah, bahasa Inggris sering kali dipilih karena dianggap lebih keren, modern, dan "masuk" ke selera anak muda. Bahasa Indonesia, meski telah menjadi simbol persatuan bangsa sejak Sumpah Pemuda 1928, justru mulai tergeser di ruang-ruang digital. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin bahasa Indonesia akan semakin jarang digunakan dalam konteks informal, dan generasi muda akan kehilangan kedekatan emosional dengannya. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran generasi muda untuk mempertahankan penggunaan bahasa Indonesia di tengah gempuran bahasa asing, khususnya di media digital, agar identitas dan persatuan bangsa tetap terjaga.
Bahasa Indonesia baku sering kali dianggap kaku dan terlalu formal oleh generasi muda, sehingga jarang digunakan di luar konteks akademik atau resmi. Sebaliknya, generasi yang lebih tua justru melihat penggunaan bahasa gaul atau campuran Indonesia--Inggris sebagai bentuk yang kurang sopan dan tidak sesuai kaidah. Perbedaan pandangan ini muncul karena masing-masing generasi memiliki latar pengalaman bahasa yang berbeda. Misalnya, saat anak muda menulis caption Instagram dengan bahasa baku, komentar yang muncul sering menganggapnya "terlalu serius" atau "nggak asik". Di sisi lain, ketika mereka menggunakan bahasa campuran, orang tua atau guru bisa menegurnya karena dianggap tidak menghargai bahasa nasional. Perbedaan persepsi inilah yang membuat bahasa Indonesia berada di persimpangan antara menjaga kesopanan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Seperti yang diungkapkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2022), "Bahasa adalah cermin pikiran dan kepribadian penuturnya," sehingga gaya bahasa yang dipilih turut mempengaruhi cara seseorang dinilai oleh orang lain.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa resmi negara sekaligus pemersatu bangsa, namun cara penggunaannya mengalami penyesuaian di setiap generasi. Generasi muda yang tumbuh di era digital cenderung menggunakan bahasa yang lebih singkat, santai, dan penuh singkatan, seperti "btw", "gws", atau "idk". Tidak jarang pula mereka mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, baik untuk percakapan sehari-hari maupun di media sosial. Kebiasaan ini terbentuk karena paparan konten global yang begitu masif, terutama dari film, musik, dan media daring. Meski bentuk adaptasi ini membuat bahasa terasa lebih akrab di kalangan sebaya, ada kekhawatiran bahwa penggunaan bahasa Indonesia baku akan semakin jarang, sehingga peran bahasa sebagai simbol persatuan perlahan melemah di ruang informal. Hal ini sejalan dengan pernyataan linguistis Harimurti Kridalaksana (2011) bahwa "Bahasa adalah identitas sosial sekaligus perekat budaya," sehingga hilangnya kebiasaan berbahasa baku dapat berdampak pada melemahnya identitas nasional.
Perkembangan teknologi dan media sosial menjadi salah satu faktor terbesar dalam lahirnya kosakata baru yang cepat menyebar di kalangan masyarakat, terutama anak muda. Istilah-istilah seperti "spill", "healing", atau "gaskeun" dapat muncul, viral, lalu menjadi bagian dari percakapan sehari-hari hanya dalam hitungan hari. Menariknya, fenomena ini mendorong sebagian generasi tua untuk ikut mempelajari bahasa gaul agar tetap "nyambung" saat berinteraksi dengan generasi muda, meskipun biasanya hanya digunakan di situasi santai atau bercanda. Sebaliknya, generasi muda pun mampu menyesuaikan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia baku ketika berada di situasi formal, seperti presentasi, ujian, atau komunikasi resmi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan gaya bahasa, fleksibilitas dalam beradaptasi tetap terjaga di antara generasi. Seperti kata Sapir-Whorf dalam teori relativitas bahasa, "Bahasa membentuk cara kita berpikir dan melihat dunia," yang berarti kemampuan beralih gaya bahasa menunjukkan kecerdasan berbahasa yang adaptif.
Generasi tua umumnya menilai kesopanan dari cara seseorang menggunakan bahasa baku, pilihan kata yang halus, serta struktur kalimat yang rapi dan formal. Standar ini seringkali berbeda dengan generasi muda yang lebih mengutamakan kecepatan, kepraktisan, dan kedekatan emosional dalam berkomunikasi, meskipun terkadang mengorbankan unsur formalitas. Perbedaan pandangan ini dapat memicu kesalahpahaman, misalnya pesan singkat yang dimaksudkan santai oleh anak muda bisa saja dianggap kurang sopan oleh orang yang lebih tua. Dalam jangka panjang, ketidaksamaan standar sopan-santun ini berpotensi membuat hubungan antar generasi menjadi renggang jika tidak disertai saling pengertian dan penyesuaian. Hal ini sejalan dengan peringatan ahli sosiolinguistik Fishman (1972) bahwa "Ketika bahasa kehilangan fungsi sosialnya, ia perlahan kehilangan penuturnya."
Meskipun perbedaan gaya berbahasa antara generasi muda dan tua kerap menimbulkan jarak, bahasa Indonesia tetap menjadi penghubung utama antar generasi. Tantangannya adalah bagaimana kedua pihak dapat berkomunikasi dengan saling memahami, tanpa merasa terbatasi oleh gaya bahasa yang berbeda. Fleksibilitas menjadi kunci: generasi muda perlu menghargai bahasa baku di situasi formal, sementara generasi tua dapat lebih terbuka terhadap bentuk bahasa yang berkembang di media sosial. Dengan meningkatkan literasi bahasa, baik secara baku maupun kreatif, bahasa Indonesia akan terus hidup, relevan, dan mampu menjembatani perbedaan zaman. Seperti yang diungkapkan Pramoedya Ananta Toer, "Bahasa adalah rumah bagi pikiran," maka menjaga bahasa berarti menjaga rumah tempat identitas bangsa bernaung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI