Lihat ke Halaman Asli

Hari ini, Esok, dan Selamanya Indonesia

Diperbarui: 9 Agustus 2018   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selena ketika diberikan hadiah oleh Ka Nisa saat Sekolah Literasi Pulau (dok. Pribadi)

"Untuk menggapai cita-cita bangsa dan negara. Kemerdekaan adalah sama rasa. Rasa yang dipendam bukan disembunyikan". Bait puisi ini ditulis oleh siswa SMP Negeri 3 Banda, Pulau Ay bernama Selena Musa. Rasa dan pikiran gadis be-ras Indo-Italia ini tentu mewakili hal serupa anak-anak se-usianya.

Pulau Ay termasuk gugusan pulau di Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Saya dan tim Ekspedisi Sekolah Literasi Pulau Forum Lingkar Pena Maluku mengunjunginya Februari  lalu. Beberapa hari, kami melakukan pelatihan menulis untuk anak-anak di sana. Banyak sekali kami menemukan hal-hal baru, unik yang tidak sama sekali dibayangkan sebelumnya.

Deburan ombak, wewangian Cengkeh dan Pala, kokohnya batu-batu benteng seakan menceritakan kisah kolonialisme berabad-abad yang menjarah kekayaan ini pada kami secara langsung. Para kolonial dulu, rela mendayung perahunya jauh-jauh dari Eropa untuk datang ke tanah Surga yang dijanjikan. Tete moyang kita menjadi tumbal atas ganasnya mesiu baja mereka.

Namun, kilas balik cerita tersebut hanya bergambar kuno di dinding-dinding benteng atau museum-museum, tak banyak yang menuliskannya dalam bentuk buku-buku guna dikenang oleh generasi. Seketika itu, butalah aksara sejarah generasi saat ini. Akibatnya, daya juang melempeng di tengah bentuk jajahan baru.

Mungkin, Pulau Ay menjadi contoh kecil tentang Indonesia hari ini. Pulau berpenduduk 1000 jiwa ini mengalami ketidakadaan signal yang baik, mengakibatkan zona waktu sama persis dengan zona waktu Indonesia bagian barat. Kami juga sangat kaget, jam pada handphone tiba-tiba berubah otomatis karenanya. Padahal, Pulau Ay merupakan kawasan Indonesia bagian timur. Secara pembagian waktu, seharusnya sama dengan kabupaten induk.

Hal lain, keadaan penerangan listrik, masyarakat terpaksa bergiliran untuk mendapatkannya dari genset yang disewa warga. Jadwal penerangan tersebut hanya berdurasi sejak pukul 18.30- 12.00 WIT. Itupun jika tidak ada gangguan mesin. Jika tidak malam terpaksa harus larut dalam kegelapan pekat. Lanjutnya,  saya amati pada beranda facebook Nana Rohana Sahmad,  Alhamdulillah tanggal 7 Agustus 2018 PT. PLN (Persero) Area Ambon mengadakan acara peletakan batu pertama pembangunan bangunan perusahaan listriknya. Semoga tiang-tiang dan kabelnya bisa terpasang secepatnya.  

Belum cukup itu, kebutuhan dasar manusia, seperti air bersih, agak sulit didapatkan. Para warga harus membuat wadah-wadah penampung air hujan dalam rumahnya untuk menadah air hujan. Bisa kita bayangkan, bagaimana jika datangnya musim kemarau? Tentu mereka kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci, memasak dsb.  Atas fakta itu, saya bertanya apakah Pulau Ay itu Indonesia?

Kenyataan di Pulau Ay, sesungguhnya juga terjadi pada setiap daerah pelosok Sabang-Merauke dan Pulau Mianggas-Rote. Justeru ini harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan kita sebagai sesama warga negara. Tentu peran kita berbeda sesuai dengan peran dan tanggung jawab. Banda punya sejarah manis. Aroma manisan Pala dan bunga-bunga Cengkeh yang ditanam pada setiap tanahnya harus dikembalikan kehormatannya. Begitu juga yang lain.

Simaklah syair Selena di atas secara seksama. Mereka sesungguhyan rindu Indonesia. Walaupun Indonesia belum mereka lihat seperti apa. Saat ditanya sewaktu mengisi materi, nanti foto-foto kegiatan hari ini, diupload ke facebook ya. Jawabnya, pane e, di sini seng ada signal. Nada bicaraku langsung terbang. Lanjutku, oh itu... ada ombak Indonesia. Buanglah harapanmu lewat sajadah gelombangnya, kalian akan menemukan Indonesia suatu saat.

Masih dalam kawasan sama, Maluku. Menyeberang ke Pulau Seram. Malapetaka katakan seperti itu terjadi pada masyarakat salah satu suku pedalamannya. Berita itu masuk headline koran nasional, Kompas dan menjadi viral di media sosial. Bencana kemanusiaan yang berujung katanya busung lapar masyarakat Mause Ane di pegunungan Morkelle, Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram menjadi citra negatif terhadap Maluku yang berpredikat Provinsi Terbahagia.

Krisis kelaparan menjadi pemberitaan massal, banyak sekali respon-respon kepedulian guna membantu mereka. Mulai dari aksi penggalangan dana, menurunkan relawan medis, mendirikan posko peduli, membuat kampanye donasi, dsj. Pada hal ini, saya tidak akan membahas pro-kontranya atas ketimpangan fakta dan analisa, yang membuat beberapa pertanyaan hingga saat ini belum bisa terjawab, benarkah suku Mause Ane ini dilanda busung lapar? Ada isu relokasi, siapa yang mengambil keuntungan?  Murkelle. Mari baku kele. Kele Ane. Ale Mause. Mau ose bantu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline