Lihat ke Halaman Asli

Agama dan Spiritualisasi Sosial

Diperbarui: 20 Mei 2018   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Film 212 ( The Power of Love) ialah film monumental. Sejak 9 Mei 2018 ditayangkan perdana pada layar bioskop seluruh Indonesia, produser menargetkan tujuh juta penonton. Target itu seperti yang dirilis dalam Republika.co.id, Rabu (9/5)

Alhamdulillah, antusias yang begitu tinggi, walau ada beberapa daerah yang menolak karena mencurigai setting film ini ada unsur radikal dan sejenisnya. Namun, fakta telah membuka mata kita bahwa sesuatu yang baik itu akan selalu baik.

Seperti itulah yang terjadi dalam pemutaran perdana film ini di XXI Passo-Ambon tadi pukul 11.35-13.25 WIT.

Daya magnet drama religi tersebut telah menyedot perhatian masyarakat Ambon. Ambon dikenal sebagai kota multikuktural telah memberikan wajah teduhnya dan rumah kasih sayang.

Kali ini, Ambon lewat masyarakatnya telah memberikan contoh terbaik dalam mengimplementasikan nilai-nilai cinta dan damai.

Tahukah kenapa? Ternyata, diantara ratusan penonton yang membanjiri ruang-ruang teater, pasti kita bepikir bahwa para penonton berasal dari mayoritas, yaitu umat Islam. Mengingat film sangat sarat terkait aksi Bela Islam 212, yang dimaknai sebagai gerakan radikal dan berpotensi memecah belah bangsa.

Namun, opini publik yang sejak awal terbentuk dipatahkan oleh orang basudara di tanah kota Manise ini.

Dari balik ratusan penonton, saya dipertemukan dengan sebuah keluarga yang beragama lain, yaitu Pak Sumayar dan keluarganya. Hadirnya keluarga pemeluk Agama Budha memesankan pada kita bahwa pesan damai, cinta dan toleransi ialah produk agama.

Agama bukanlah candu. Agama bukanlah pencipta teror. Agama bukanlah sarana konflik. Melainkan agama ialah serial kebaikan yang datang dalam fase manusia.

Perbedaan dalam agama itu hanyalah soal ibadah. Kita tidak bisa menyalahkan soal ritual. Sebab, masing-masing agama punya jalan menuju TuhanNya berbeda.  

Tetapi, kita menyatu pada prinsip sosial. Kita saling membutuhkan satu lain. Islam butuh Hindu. Hindu butuh Budha. Budha butuh Kristen. Kristen butuh Katolik. Katolik butuh Konghuchu. Maupun sebaliknya. Itulah spiritualitas sosial sekaligus energi persatuan bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline