Lihat ke Halaman Asli

Narendra Sakti Wisesa

Mahasiswa S1 Program Studi Akuakultur Fakultas Perikanan dan Kelautan - Universitas Airlangga

Korelasi antara Cryptoccurency (Bitcoin & Ethereum) dengan Lingkungan

Diperbarui: 6 Juni 2022   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cryptocurrency. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Cryptocurrency telah muncul sebagai salah satu investasi yang paling menawan dan mengejutkan. Cryptoccurency seperti Bitcoin, salah satu yang paling popular karena kenaikan harga bitcoin yang fantastis. 

Dengan harga 1 bitcoin sekarang bernilai sekitar Rp429.946.541. Namun, nilai ini bisa sangat bervariasi pada saat membaca ini. Untuk mendapatkan 1 bitcoin dibutuhkan sekitar 10 menit, tetapi dibutuhkan perangkat keras dan perangkat lunak yang ideal dengan harga yang tidak terjangkau. 

Bagi mereka yang memiliki anggaran yang kecil dengan menggunakan Antminer S19 Pro tunggal akan membutuhkan 1.200 hari untuk mendapatkan 1 Bitcoin.

Antminer S19 Pro adalah penambang Application-Specific Integrated Circuit (ASIC), yang merupakan mesin khusus yang dirancang untuk menambang cryptocurrency paling populer. Perlu diketahui bahwa kinerja ASIC adalah ratusan kali lebih tinggi dari kinerja grafis terbaik dan memiliki rasio kinerja/daya yang lebih tinggi (Mikhail B.,2020)

Tentu dalam menambang Bitcoin ini membutuhkan energi listrik dalam jumlah yang fantastis. Menurut data Diginocomist, perkiraan konsumsi listrik jaringan Bitcoin pada tanggal 29 Januari 2021 sebesar 77,8  Terra Watt per jam (TWh) dan pada tahun ini tepatnya tanggal 4 Juni 2022 perkiraan konsumsi sebesar 204,50 Terra Watt per jam (TWh) meningkat drastic sebesar 125,7 (TWh) dalam 2 tahun terakhir. 

Penggunaan listrik ini mengalahkan penggunaan listrik di Negara Thailand Sebesar 195,1 (TWh) Peningkatan penggunaan daya listrik ini berhubungan dengan peningkatan harga Bitcoin dari tahun ke tahun. 

Dapat diketahui pada awalnya harga bitcoin bernilai Rp14.000 hingga sekarang yang bernilai sekitar Rp430 jt. Selain penggunaan listrik terdapat juga data dari Diginocomist, mengklaim bahwa dalam 1 kali transaksi bitcoin emisi karbon dioksida sebesar 1234.93 kgCO2 atau setara dengan 2,7 juta transaksi visa.

Tentu saja, Visa tidak sepenuhnya mewakili sistem keuangan global. Namun, perbandingan emisi karbon dengan transaksi non-tunai dalam sistem keuangan regular masih mengungkapkan bahwa rata -- rata transakasi bitcoin membutuhkan beberapa ribu kali lebih banyak energi. 

Perlu diketahui jumlah penggunaan daya listrik dan emisi karbon yang dihasilkan hanya dari mata uang Bitcoin saja, belum termasuk mata uang kripto yang lain, seperti Ethereum dan lain -- lain.

Berdasarkan data Ethereum energy consumption index dari Digiconomist,Ethereum, jaringan cryptocurrency terbesar kedua, diperkirakan menggunakan 87,29 Terawatt-jam listrik per tahun, berdasarkan konsumsi energi hingga 27 Mei 2022---sebanding dengan konsumsi daya Finlandia. Rata-rata transaksi Ethereum membutuhkan listrik 210,16 kilowatt-jam, yang merupakan jumlah daya yang sama dengan yang dikonsumsi rata-rata rumah tangga AS dalam 7,1 hari.

Jumlah energi yang dikonsumsi oleh penambangan cryptocurrency kemungkinan akan meningkat seiring waktu, dengan asumsi bahwa harga dan adopsi pengguna terus meningkat. Penambangan mata uang kripto adalah proses yang kompetitif: saat nilai hadiah blok naik, insentif untuk mulai menambang juga naik. Harga cryptocurrency yang lebih tinggi berarti lebih banyak energi yang dikonsumsi oleh jaringan crypto.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline