Lihat ke Halaman Asli

Naomi Naibaho

Simply a regular woman who loves to write sometimes

Pamit

Diperbarui: 3 Agustus 2020   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mungkin saatnya berpaling dan melangkah pergi untuk menghindari segala perdebatan yang berujung kata pisah.

Semoga ini tak menyisakan apapun untuk kita kenang dan menjauh dari kenangan. 

Sempat aku mengais dan berharap ada sedikit rasa hormat dan menghargai yang mungkin masih tertanam di bawah alam sadar. Tapi tak ada.

Kita bersandar dan memandang ke arah yang berbeda. Waktu kamu merindukan sinar mentari aku rindu kuyupnya deras hujan. Entah apalagi yang bisa kita percaya saat harap telah luntur dan terbawa derasnya aliran sungai patah hati yang deras.

Kita pernah paksakan.... tapi tidak akan pernah bisa. Dan tak akan pernah mampu memaksakan. 

Kau berpikir aku yang berubah, bukan.... tidak ada yang berubah. Tidak kamu tidak aku tidak juga keadaan. Hanya kita saja yang terlalu keras kepala memaksakan untuk merubah keadaan yang telah paten adanya. Jangan rubah itu..... Kita memang tidak membutuhkan, kita hanya mau kita membutuhkan satu sama lain di saat - saat sepi.

Kali kesekian kita memberi ruang untuk satu sama lain. Tapi tetap tidak terisi. Itu hanya ruang kosong dan selamanya akan kosong dan pada akhirnya akan terabaikan. 

Waktu sendiri kita lebih baik.... berjalanlah tanpa ada kita di sisi masing - masing.
Mungkin suatu saat merindu.... abaikan... biar saja rindu itu di sini. Biar kurasakan semuanya sendiri, agar rindu itu tetap ada maknanya.
Selamat tertidur berselimutkan awan gelap, ditemani cahaya bintang seadanya. Kita adalah kemarin.
Selamat tinggal, selamat jalan dan selamat sampai ke tujuan akhir dari perjalanan hidup kita....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline