Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Sebelum Matahari Terbenam

Diperbarui: 1 Desember 2018   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak bisa terus bersembunyi

Kesedihannya Ia tutupi

Tangis terpecah karena perih

Namun yang tersayat adalah hati

Sudah 5 tahun Ayah keluar kota tepatnya ke Jakarta. Ibu masih memiliki harapan supaya Ayah kembali. "Sudah, Bu. Ayah pasti datang. Kita hanya perlu sabar aja," kataku. Ibu hanya terdiam. Melihat matahari terbenam dari teras rumah.

Aku menatap Ibu. Ku percaya, Ibu sedang menahan tangisannya. Muka Ibu yang terlihat pucat karena sudah lama Ibu bekerja keras untuk membuat keluarga ini tetap bertahan "Hmm.. Sudah yuk. Kita masuk. Nenek nanti mencari kita," kata Ibu dengan suara lembutnya. Aku mengangguk setuju.

Ayah sudah lama tak berada di rumah. Terakhir kali ku melihat Ayah pada saat aku berumur 9 tahun. Sekarang, Aku sudah berumur 14 tahun. Ayah berjanji akan kembali. Ku ingat dengan jelas perkataannya. "Kamu tunggu Ayah di depan sini ya. Ayah janji akan kembali, Ash."

"Nah, ini dia anaknya. Ash gimana kemarin sekolahnya?" tanya Nenek. Ku menatap ke piringku yang kosong. Melihat ke meja makan yang hanya terdapat tempe, ikan, dan sayur -- mayur. Ku menjadi tidak mood makan.

"Ash?"

"Ya, Nek?"

"Gimana sekolahmu? Baik -- baik saja?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline