Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen | Sebelum Matahari Terbenam

30 November 2018   23:52 Diperbarui: 1 Desember 2018   00:02 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ku mengangguk. Ibu melihat kepadaku. Dia tahu bahwa aku memiliki masalah di sekolah. Tidak punya teman salah satu alasannya. "Hmmm.. makan ayo. Ntar dingin loh," kata Ibu yang langsung mengambil sendok makan dan menyendokkan nasi ke piringku.

Kita makan sambil diam. Selesai makan, ku langsung ke kamar dan membuka laptop. Laptop pemberian Ayah sebelum dia pergi sudah ku pakai berapa tahun. Sudah tua memang.

Banyak juga tugas yang harus ku kerjakan minggu ini. Biologi, PKn, Matematiika. Deadlinenya hari Kamis. Aduh. Ku menggaruk kepalaku. Banyak sekali tugas untuk minggu ini. 

Lalu ku mendengar suara teriakan. "ASH! Sini bantuin Ibu!" terdengar suara dari Ibu yang ku rasa berada di ruang tamu. Ku mematikan telepon dan menghampiri Ibu.

"Ash.. Kita harus berbicara.. ini sangat penting," kata Ibu dengan suara yang kecil. Tampaknya Ibu habis menangis karena ku masih bisa melihat mata Ibu yang sedikit merah. "Ash.. Ibu harus mencari Ayah. Sudah lama ia tidak pulang -- pulang.. Ash.. janji kamu akan menjadi anak yang baik?" Ku terdiam. Tidak ada kata -- kata yang keluar dari mulutku. Hanya sebuah anggukan setuju.

APA YANG KAMU PIKIRIN ASH?! KAU SUDAH DITINGGAL AYAH. SEKARANG IBU! KAMU MAU APA ASH?! NENEK SUDAH TUA. KAMU GIMANA MAU ATUR WAKTU?! Ku menatap Ibu. Pikiran yang kosong. Tatapan yang kosong.

"Ibu akan berangkat 2 hari lagi. Kamu jagain Nenek ya.. Ibu akan balik kok. Ibu janji."

Janji. Ku meragukannya. Ayah saja sudah berjanji berkali -- kali tetapi selalu ingkar janji.

10 hari kemudian.. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00. Ku pamit ke Nenek untuk berangkat ke sekolah. Sekolahku jauh dari rumah jadinya kalau berangkat harus pagi -- pagi.

"EH SI BOCIL LAGI NEH! HAHAHA!" terdengar suara hinaan yang berasal dari teman sekelasku. Setiap hari ku mendengarkan hal -- hal yang sama. Jawaban yang aku berikan hanya senyuman karena Ayah bilang "Jangan biarkan mereka melihat kesedihanmu. Berikan saja mereka senyuman. Mereka suatu saat nanti akan diam kok." Kalimat tersebut.. terus diulang -- ulang di benakku. Tapi, kapan mereka akan berhenti? Sudah 2 tahun mereka mengejekku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun