Lihat ke Halaman Asli

Meminum Air Darah Ibu

Diperbarui: 22 Desember 2022   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan itu duduk di bawah pohon cemara bertumbuh jarang di halaman. Bersenandung sembari menjahit. Rambutnya kini beruban panjang. Aku mengenali suara itu. Ya, aku mengenalinya setiap malam duduk di meja jahit, bersautan dengan dengkingan nyamuk.

Aku menghampirinya perlahan-waktu berjalan melambat agaknya. 

Malam hari. 1998. Badai bergemuruh sangat dahsyat.  

***

Suara kilat menyambar-nyambar di luar. Dari bilik jendela yang kordennya berterbangan, terlihat hujan nyaris badai. Tampias air membasahi sebagian lantai kamar. Si bidan jangkung, dibantu perawat asistennya sibuk menyelamatkan sebuah nyawa yang akan mengarungi dunia.

"Ayok bu, sedikit lagi. Tarik napasnya kuat-kuat..."

"Sakit, dok..."

Sebelum ada kelahiran baru, tentu ada harga nyawa yang perlu dibayarkan sebelumnya. Kain putih berenda biru, sekarang berbau amis penuh darah. Mereka, masih saja-berusaha menyelamatkan satu nyawa yang entah apa kelak tujuannya dilahirkan?

Aku tidak tau betul rasanya, ketika sentuhan lembut itu pertama kali mendekap pori-poriku. Mungkin, tubuhku yang telanjang sedikit hangat dengan deru napas yang sangat dekat saat memeluk. Atau, jika aku ingat tubuhku sedikit terkena percikan air yang menetes. Air? Entahlah-aku tidak paham.

"Selamat bu, anaknya perempuan. Cantik."

Dimulailah-sebuah kehidupan baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline