Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Abdillah

... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

Anehnya Tagar #BubarkanBanser dan Menguatnya Polarisasi Melalui Perang Narasi

Diperbarui: 26 Agustus 2019   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Twitter Pribadi

Sebelumnya, pasca terjadinya rusuh dan demo besar-besaran di Papua, saya menulis soal (kemungkinan) adanya penumpang gelap yang ingin memanfaatkan momentum kacaunya emosionalitas sebagian rakyat Indonesia karena masalah rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Tulisan lengkapnya bisa dibaca disini: Mewaspadai Penumpang Gelap dan Menghentikan Rasisme di Papua.

Rupa-rupanya, sebagaimana dugaan banyak orang, masalah tersebut tidak akan mudah terselesaikan. Bukan hanya karena soal klasik yang sudah mengakar puluhan tahun lamanya, tapi apa yang terjadi adalah makanan empuk bagi mereka yang memiliki kepentingan tertentu untuk semakin menggaduhkan suasana.

Banyak hal pasca kejadian itu yang mendukung asumsi adanya penumpang gelap yang bermain, termasuk munculnya massa yang dibentur-benturkan. Kita apresiatif munculnya massa pro-NKRI di Papua, sebagai 'tandingan' dari munculnya video viral terkait referendum dan kemerdekaan Papua. Tapi hal itu menjadi paradoks karena membenturkan orang Papua dengan orang Papua sendiri. Artinya, orang Papua sudah jatuh, masih tertimpa tangga. Bukannya ditolong saat jatuh, malah mengambil kamera dan membagikannya kemana-mana.

Terlepas dari itu, harus kira akui, bahwa masalah yang sebenarnya itu nyata, terlihat di depan mata: ada persekusi dan tindakan rasis yang diterima oleh mahasiswa Papua. Itulah tuntutannya, dan negara harus hadir untuk menyelesaikannya agar tidak melebar kemana-mana. Semua proses hukum harus diselesaikan dengan seterang-terangnya. Adil untuk semuanya. Sebab jika tidak, ini akan berpotensi melahirkan perilaku dan kecenderungan yang mengkhawatirkan terhadap keutuhan kita sebagai sebuah bangsa.

Demo susulan pun terjadi dengan berbagai macam tuntutan. Sampai hari ini, negara tetap waspada terhadap segala kemungkinan dan demo-demo yang, konon, akan terjadi. Tuntutannya pun bermacam-macam, termasuk 7 (tujuh) tuntutan massa di Sorong yang disampaikan saat aksi demo yang berlangsung di lapangan Apel Kantor Walikota Sorong. Hal itu disampaikan oleh Yorrys Raweyai, dengan penekanan, bahwa itu bukan darinya tapi aspirasi dari massa yang ada disana.

Ketujuh tuntutan itu, bagi saya secara pribadi, ada yang masuk akal dan bisa terima, ada juga yang aneh dan membuat tanda tanya. Persis seperti persyaratan damai tapi harus membayar 1 milyar atau persyaratan damai yang mengharuskan pertemuan dengan membawa istri dan anak-anak sebagaimana viral juga di dunia maya. Bagi saya, hal itu seperti memanfaatkan momentum karena sudah bisa dihitung-hitung, bahwa netizen akan memberikan empati, dan mungkin mendukung.

liputan6.com

Kalau merujuk pada berita liputan6.com di atas, poin pertama, keempat, dan keenam seperti ada nada perlawanan yang ingin dihembuskan. Ada upaya untuk mempertahankan kebencian dan memanfaatkan situasi yang dianggap menguntungkan. 

Menarik mahasiswa, tentu saja tidak mudah, terutama ketika tahu persoalan ini sudah diademin oleh masing-masing Gubernur, Kepala Daerah, Wali Kota, dan lainnya yang berkaitan. Persoalan ini relatif bisa diatasi, karena yang dihadapi adalah para mahasiswa dan cenderung lebih mudah untuk diberikan pengertian.

Sementara tuntutan keempat dan keenam adalah tuntutan soal kemerdekaan. Ungkapan rasa ingin berpisah dari negara kesatuan. Keinginan yang sudah lama mengakar itu dimunculkan ke permukaan. Disuarakan agar lebih di dengar, terutama untuk kepentingan referendum kemerdekaan. 

Situasi ini jelas tergambar pada poin ketujuh. Ada ancaman yang akan dilakukan jika negara tidak memenuhi tuntutan. Sementara poin kedua dan poin kelima relatif lebih mudah dipenuhi dan itulah sejatinya yang mereka inginkan. Soal permintaan maaf dan menghukum para pelaku persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua.

Tuntutan yang paling aneh dan gak nyambung, bagi saya pribadi, adalah tuntutan untuk segera membubarkan Banser. Dari tadi malam, ketika perang hastag semakin liar dan saling serang, saya belum menemukan alasan yang tepat atas tuntutan ini. 

Jawaban yang ada hanya mengerucut pada keberadaan organisasi tersebut yang dianggap tidak berguna, kerap membubarkan pengajian, mengawal dan menjaga gereja sekaligus membela non-muslim, selalu ngaku paling Pancasilais dan paling NKRI tapi tak berbuat apa-apa untuk Papua, dll. Jelas itu tak membantu memberikan jawaban, setidaknya untuk saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline