Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mewaspadai Penumpang Gelap dan Menghentikan Rasisme terhadap Papua

20 Agustus 2019   10:03 Diperbarui: 21 Agustus 2019   17:22 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu terakhir, Papua menjadi topik utama pemberitaan. Bukan soal pembangunan infrastruktur yang kerap dihembuskan, tapi soal konflik sosial yang kerap terjadi dan dilupakan, dibiarkan. Semua itu terjadi dalam waktu sekejap. Semua mata seakan 'dipaksa' untuk menoleh ke wilayah paling timur sana. 

Bukan karena patahan surgawi berupa keindahan alam yang mulai jadi jualan, tapi segenap kerumitan, diskriminasi, kekerasan dan rasisme yang terus menimpa rakyat Papua. Tentu, hal ini menjadi hadiah buruk bagi bangsa yang baru merayakan kemerdekaannya yang ke-74 ini.

Kalau kita runut, belum lama ini, terjadi penembakan terhadap salah satu anggota polisi di Puncak, Papua. Briptu Haedar (alm) meregang nyawa. 

Setelah itu, terjadi penembakan secara sporadis yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya. Lagi-lagi, salah satu prajurit TNI AD meninggal atas nama Pratu Panji. 

Beberapa bulan sebelumnya, KKB juga menembaki karyawan di Trans Papua. Dalam waktu satu tahun terakhir, Papua memanas. Gerakan separatisme semakin berani. Dari semak-semak hutan Papua mereka mengatur posisi, mengawasi situasi, lalu beraksi.

Wapres dan Menhan bahkan meradang dan memerintahkan untuk membalas kelompok yang menjadi bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu. Dialog gagal, senjata menjadi pilihan. JK menginginkan "serang balik", sedangkan Menhan memerintahkan untuk "hajar betul". 

Sebuah statement yang oleh sebagian pihak justru dianggap semakin memperkeruh suasana. Benar saja sebab gayung pun bersambut. 

"Kami tetap lawan. Serang balik. TNI-Polri tidak tahu hutan kami" ucap Sebby Sambom yang mengklaim sebagai juru bicara TPNPB-OPM, sebagaimana dilaporkan Tirto.id.

Lalu yang terbaru dan sangat menyedihkan adalah perilaku rasis dan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Semarang, Malang, dan Surabaya yang memicu terjadinya kerusuhan dan aksi turun jalan besar-besaran di Papua, khususnya di Manokwari dan Jayapura. Rasisme itu rupanya tak pernah mati. 

Nyata ditemukan dan pada titik tertentu seperti "dirayakan". Nyeseknya, rasisme itu dilakukan oleh anak-anak bangsa sendiri yang hanya karena mayoritas mereka seperti berhak untuk diskrimitif dan meneriaki yang berbeda serupa hewan, bukan manusia. Mengerikan sekali bangsa ini, pada akhirnya.

Soal pertama, adalah persoalan klasik yang terus dibawa hingga masa depan. Penyebab konfliknya terlalu rumit. Soal sejarah dan politik. Soal ketimpangan yang dibiarkan berlarut-larut dan seolah "dinikmati". Kekayaan alam yang tergerus, tapi Papua tampak tak terurus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun