Lihat ke Halaman Asli

MURJANI

100% Cinta Anak Indonesia

Kota Tua Tanjung Balai Karimun

Diperbarui: 19 Maret 2021   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Hai geng,,, Perkenalkan nama saya MURJANI Mahasiswa D4 Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti dan penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud

Sebagai sebuah kabupaten kecil di pelosok Provinsi Kepulauan Riau, nama Karimun masih kalah tenar dari daerah lain dengan sebutan hampir serupa: Karimun Jawa.

Nasib sama dialami Ibukotanya, Tanjung Balai Karimun. Nama kota ini sampai harus diimbuhi kata "Karimun" di belakangnya karena kebetulan punya sebutan identik dengan kota lain, Tanjung Balai, yang berada di Asahan, pesisir timur Sumatera Utara.

Dulu, dalam masa keemasan raja-raja Melayu, Karimun mencelat jadi kota perdagangan berkat gambir, timah, dan bauksit. Raja Ali Haji, sang penguasa, membawa Karimun ke masa jaya di bawah kekuasaan Kerajaan Riau Lingga.

Aura pecinan dan kota tua menguar hebat dari kota ini. Toko-toko berdinding papan menggantungkan lampion dan tempat dupa di depan pintunya. Jika mengintip ke ruangan depannya, selalu ada patung-patung Budha ataupun leluhur mereka di sana. Namun, istimewanya, simbol-simbol budaya Tiongkok  di sepanjang jalan juga bersinergi dengan simbol-simbol khas Melayu. Padan dan padu. 

Kiri kanan jalanan pelabuhan berdiri ruko-ruko tua khas pesisir Sumatera. Sebagian berdesain tipikal bangunan peranakan, lainnya dibangun dari kayu berciri Melayu. Di antara keduanya, terselip bangunan-bangunan batako lebih baru dengan karakter 60-90an: langit-langit rendah, pintu dorong berjeruji, serta papan nama toko besar tepat di atas pintu masuk. 

Ruko-ruko tadi dimanfaatkan untuk berjualan. Pakaian, penganan, hingga kebutuhan harian. Seakan mengakomodasi budaya minum kopi dan bercengkerama di pagi hari yang jamak dianut masyarakat Melayu, warung-warung kopi pun bertebaran. 

Dokpri

Bukan dalam desain baru dan kekinian, warkop-warkop ini terpelihara dalam bentuk aslinya. Bangunan lama, perabotan tua, hingga suasananya, terjaga sebagaimana sedianya di masa lalu. 

Hal menarik lainnya, di kedua sisi jalan wilayah pelabuhan, simbol-simbol kemajemukan berserakan. Ada masjid, disusul beberapa klenteng, kemudian gereja, yang masing-masingnya berjarak beberapa puluh meter saja. 

Sekali saya bertanya pada seorang warga, Pak Tua paruh baya, "Pernahkah ada konflik horizontal terbuka di sini?"

"Tak pernah", jawabnya. "Masyarakat sini suka yang damai-damai saja. Semua membaur, melihat orang-orang dalam bentuk dan kebiasaan berbeda tak lantas mencuatkan curiga".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline