Lihat ke Halaman Asli

Muhammad MunifHasbi

Mahasiswa UIN jakarta

Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas BAB III

Diperbarui: 17 November 2019   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nama : Muhammad Munif  Hasbi

Sosiologi 3B / 11181110000068

Review Buku

"Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas"

Penulis : Neng Dara Affiah M.Si

Oleh : Muhammad Munif Hasbi / Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta

BAB III : Perempuan, Islam, dan Negara

            Dalam buku ini khususnya Bab III, menjelaskan tentang bagaimana perempuan islam dan negara. Penulis memusatkan perhatiannya kepada kajian feminisme dalam islam, perkembangan teori feminisme di Indonesia dan isu yang diperdebatkan dalam upaya menegakkan hak-hak dasar perempuan. Serta sejarah aktivis feminis, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi-organisasi islam dalam menuntut hak-hak bagii kaum perempuan supaya tidak adanya segregasi dan kebijakan-kebijakan yang merugikan bagi kaum perempuan dan melakukan penafsiran serta mengkaji ulang Al-Qur'an  berdasarkan analisis gender. Karena di dalam Al-Qur'an sendiri memandang manusia itu sama, yang membedakannya hanyalah amal ibadahnya.

 Dalam buku ini beliau menyebutkan bahwa feminisme dalam islam merupakan sebuah teori yang menjembatani kesenjangan antara keadilan yang mempengaruhi penafsiran terhadap hukum syariah di satu sisi, dan hak asasi manusia (HAM) disisi yang lainnya. Ia muncul pada tahun 1990-an dengan penekanan bahwa modernitas merupakan suatu yang memiliki kesesuaian dengan islam bahwa pemahaman manusia dalam teks-teks islam dapat diinterpretasikan dan mendorong manusia untuk menjunjung tinggi kepada HAM, pluralisme, demokrasi, dan kesetaraan gender. Dalam islam sendiri kita ketahui bahwa manusia itu sama di mata tuhan tetapi, yang membedakannya adalah amal ibadahnya. Hal ini dikarenakan teori feminisme islam melandaskan dasarnya pada sumber-sumber utama ajaran islam yakni Al-Qur'an, Hadist, ijtima ulama dan lain-lain. Al-Qur'an sebagai sumber hukum dan sumber kebenaran dalam agama islam. Sedangkan hadits adalah perkataan atau perilaku nabi Muhammad SAW. 

 Penulis juga menerangkan ada sedikit masalah mengenai hadits- hadits palsu yang menggambarkan citra buruk kepada perempuan seperti "sosok penggoda yang cacat moral dan agama" "kotor dalam menstruasi" dan sebagainya. Penulis menekankan bahwa tidak semua hadits yang beredar itu asli dari Nabi Muhammad SAW, ada pula hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang tidak memiliki iman dan ini terjadi setelah sepeninggalan Nabi Muhammad  SAW sedangkan Al-Qur'an tidak dapat di palsukan karena Allah Swt sendiri yang menjanjikan untuk menjaga keaslian Al -- Qur'an itu sendiri pada Surat  ( Al -- Hijr : 9 ). Para aktivis feminisme muslim menyarankan agar membatasi hadist sebagai rujukan beragama bagi umat islam dan mendorong pemahaman sejarah sosial dan perilaku (sunnah) dengan pendekatan "historis kritis". Hal ini dikarenakan banyaknya hadits-hadist palsu yang beredar dan sulit membedakannya, sehingga perlu dilakukan pemahaman sejarah perilaku Nabi Muhammad SAW.

Menurut Fakieh (1996), sepanjang ini teori besar ilmu sosial di pengaruhi oleh dua aliran teori yang saling bertentangan, yakni aliran modernisasi yang berakar pada paradigma positivisme dan teori sosial kritis yang berakar pada Marxisme. Namun kesemua teori ini kurang bisa berpihak kepada feminisme perempuan dan dalam perkembangannya kini para aktivis dan para intelek memakai analisis gender untuk menganalisis feminisme perempuan. Analisis gender ini sering disebut sebagai "kaca pembesar" untuk memahami berlangsungnya ketidakadilan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Karena permasalahan gender ini serring terjadinya segregasi. Analisis gender ini mendorong par ahli tafsir untuk mengkaji ulang atau mentafsirkan ulang al-qur'an yang mempunyai makna tentang gender. Dengan paradigma analisis gender ini, Affiah (2009:155-156) menuturkan bahwa sejak 1990an organisasi islam dan organisasi gerakan perempuan dalam islam dengan pemikiran progresif mulai bermunculan. Pertumbuhan dan perkembangan gerakan feminisme dan islam pada masa pemerintahan orde baru dan pada masa revolusi ini setidaknya di latar belakangi oleh beberapa faktor. Pertama , pada masa pemerintahan presiden Soeharto yang menempatkan perempuan hanya semata-mata sebagai ibu dan istri yang gunanya melayani suami dan keluarga saja melalui ideologi Ibuism tanpa memikirkan bahwa perempuan mempunyai hak nya sebagai rakyat untuk turut andil dalam birokrasi dan dunia kerja. Kedua, Indonesia melakukan pengesahan konvensi pengapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui undang-undang No. 7 tahun 1984 yang mengakui hak asasi perempuan sebagai manusia yang merdeka serta menjamin hak pendidikan dan hak dalam dunia kerja, politik dan sebagainya setara dengan laki-laki. Dilihat dari kedua faktor tersebut memungkinan adanya kerja sama antara aktivis feminisme dengan lembaga swadaya masyarakat guna berupaya membuat perubahan nasib bagi perempuan untuk melakukan counter culture (kontra budaya) dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang cenderung mendiskriminasikan kaum perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline