Lihat ke Halaman Asli

Ika Mulya

Melarung Jejak Kisah

Cerpen | Putaran Memori

Diperbarui: 12 April 2020   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Pixabay


Akankah Mas Bintang tetap mengingatku, apa pun yang terjadi di antara kita nanti?

Bahkan bagaimana cara kau mengucapkan pertanyaan itu, aku masih sangat ingat, Dik. Matamu berkaca-kaca saat keluar dari salah satu bilik wartel, warung telekomunikasi dekat kampus kita. Kau menatapku yang termangu, menunggumu di depan pintu. Tak pernah kulihat manik hitam itu sedemikian sendu. Aku tahu, kau sedang menahan tangis, agar tak seketika meledak. Karenanya, kita segera beranjak.

Kau ucapkan kalimat tanya itu sebelum duduk di boncengan. Suaramu bergetar dan air mata tak dapat dibendung lagi. Jika saja aku lelaki yang tak tahu malu, sudah kurengkuh tubuhmu ke dalam pelukan saat itu juga di sana. Ya, di depan wartel langganan. Kita saling memeluk dan berbagi kegalauan dalam diam. Membiarkan air mata tercurah, melarung segala resah. Sayangnya, bukan begitu caraku, Dik.

Mas, jawab!

Sampai kini masih terngiang protesmu lantaran aku diam saja. Namun, kemarahan itu hanya di bibir. Buktinya, kau langsung menyandarkan kepala di pundakku dengan dua tangan melingkar erat di pinggang.

Aku bisa merasakan isakanmu, juga air mata yang merembes menembus kaus tipisku. Hati ini seperti ditusuk-tusuk, Dik. Dunia pun terasa berputar-putar dan kita harus siap terlempar. Terpental di tempat yang berbeda. Dipaksa berpisah setelah terbebat kuat dalam jalinan asmara tanpa restu orang tua. Bagaimana aku sanggup berkata-kata meskipun sekadar 'ya'?

Mas, jangan ngebut!

Itu protesmu yang kedua. Maaf, Dik. Sekelebatan terlintas dalam pikiran, aku ingin mati saja di Jalan Raya Margonda. Sengaja menabrakkan motor ke bus kota. Kalau kita tidak bisa hidup bersama, maka lebih baik mati berdua. Indah juga, bukan?

MAS!

Baiklah, aku sadar itu hanya godaan setan. Kita masih selamat. Kita baik-baik saja--setidaknya secara lahiriah. Jauh di batin sana, sebuah luka lebar menganga. Perih. Teramat perih.

Kau dan aku lalu berada di tepian danau dekat rektoriat. Mari kita menangis, Dik! Di sini sepi. Tidak akan ada yang menertawakan nasib buruk dan kepengecutanku. Ajakan itu menyiratkan betapa cengengnya aku ya, Dik.

Ya, aku akan selalu mengingatmu, apa pun yang terjadi di antara kita kelak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline