Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Rahasia Kemenangan

Diperbarui: 30 Januari 2019   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

DI DALAM bus kota, Turi merasakan sekujur tubuhnya bersimbah peluh. Dari dahinya mengucur keringat berbau asin. Sebelah tangan gadis itu berpegangan teguh pada cantelan di rusuk kabin bus, sementara tangan yang lain menggamit map hijau yang sudah lusuh . Hampir saja Turi terbatuk-batuk ketika seorang anak muda---yang berdiri di sampingnya, mengepulkan asap rokok kretek. Dan bau keringat yang beragam di dalam bus kota sangat menyengat, nyaris pula membuatnya muntah. Tetapi untunglah, minyak angin yang sengaja ia simpan di dalam saku rok dapat menyelamatkan Turi  dari bau menyengat,   dan rasa mual.

Bepergian dengan bus kota, bukan sesuatu  yang ganjil dan asing lagi bagi Turi. Dulu ketika ia masih duduk di bangku SMA, ia selalu memilih naik bus kota untuk mengantarnya ke sekolah. Selain irit, tentu saja gadis itu dapat menikmati dan sekaligus  menghayati kesusahan hidup masyarakat dari golongan ekonomi bawah seperti juga kehidupan keluarganya  yang sederhana---jika tidak boleh dikatakan morat-marit . Tentu saja akhir-akhir ini berbeda. Turun-naik bus kota bagi  gadis itu bukan mau pergi atau pulang dari sekolah. Tidak!

Hampir tiga pekan naik bus kota ini selalu  ditekuni Turi. Sambil mengepit map, gadis belia itu senantiasa setia di dalam bus kota---yang  mengantar ke tempat yang mau dituju. Maka, entah sudah berapa kali Turi menyaksikan kecurangan yang merugikan penumpang terjadi di dalam bus kota, dan ia sendiri tak pernah berminat menghitungnya. Sebagaimana penumpang lain yang enggan membuka mulutnya, tentu saja Turi terseret keadaan cuek, dan ia merasa kecut jika berteriak lantang agar dapat mengagalkan aksi para pencopet ulung.

Tetapi kali ini hatinya menjerit. Nalurinya merintih ketika seorang muda-- berkacamata hitam, tengah berusaha menggaet dompet seorang nenek tua. Sikap Turi---sungguh jauh dari tega agar membiarkan kelancangan tersebut terjadi. Mulut tak lagi bisa ia kekang, apalagi menguncinya rapat-rapat!

"Copet! Copet! Awas copet!" teriaknya lantang.

Seketika penumpang bus kota gusar dan terjadi kegaduhan. Sambil menyelamatkan isi kantong masing-masing, para penumpang meneliti wajah sesama penumpang---yang berada di sisi  mereka. Ada yang mengerutkan dahi, ada yang pura-pura masa bodoh, ada pula yang hanya memandang ke jalan raya di luar sana. Bahkan ada yang  cuek pura-pura bloon.

 "Copet ! Pelakunya pria yang berdiri di samping nenek tua bertongkat itu ! Pria yang pakai kacamata hitam !"teriak Turi sambil menudingkan telunjuk .

Tiga orang anak muda---sebaya si kacamata hitam, berhamburan keluar ketika bus kota melaju perlahan---karena ada penumpang lain mau turun. Anehnya---dan hal itu menyebabkan Turi melipat kerut dahinya, tak seorang pun yang tergerak hatinya agar meringkuk ketiga pencopet tersebut .

"Kenapa tidak dikejar?" pancing seseorang ketika menyaksikan semua penumpang, bahkan kondektur dan sang sopir hanya terpaku pada posisi tempat semula.

Tak ada yang bergeming! Tiada seorang pun yang menyahut. Dan para penumpang lain, tidak lebih baik dari seseorang---yang menyulut amarah maupun kenekatan itu. Masing-masing tenggelam dalam ilusinya, membayangkan kekurangajaran ketiga anak muda---yang memanfaatkan kesempatan jahat dalam kesumpekan bus kota.

                                                           

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline