Lihat ke Halaman Asli

Muhtolib

Seneng ngopi sambil bermacapat

Anomali NIK dan Hak Politik

Diperbarui: 31 Maret 2022   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berdasarkan data dari www.infopemilu.kpu.go.id, KPU menyebutkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tahun 2020 sebanyak 100.359.152 jiwa. Data ini diambil pada pelaksanaan Pilkada 2020. Partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 meningkat sekira 7%, seperti dilansir dalam www.nasional.kompas.com. Antuasiasme masyarakat yang begitu tinggi terhadap pilkada. Namun, yang menarik perhatian adalah dari seluruh jumlah DPT, apakah Nomor Induk Kependudukan (NIK) mereka valid?

Setidaknya, saya masih ingat obrolan di warung kopi. Ada beberapa pengunjung saat itu sedang berbincang terkait bantuan sosial (bansos). Mereka mempertanyakan validitas NIK yang menjadi prasyarat keikutsertaan masyarakat dalam berbagai program pemerintah. 

"Kenapa ya, bantuan sosial saya ga cair, padahal saya tercatat penerima bantuan? Ucap lelaki yang duduk di sebelah saya.

"Itu karena NIK nya tidak terdaftar di Disdukcapil" jawab lelaki yang duduk tak jauh dari lelaki yang bertanya tadi.

"Masa sih, usia saya kan  53 tahun, kok belum terdaftar?" berucap penuh heran

"Lha, itu kan sistem, saya juga tahu" lelaki tadi menjawab

"Aneh, ini kan hak kita. Kalau pemilu, kita bisa nyoblos, mesti NIK tidak terdaftar. Giliran bansos, dipersulit" pungkasnya.

Itulah realita sekelumit obrolan di masyarakat. Tak hanya bansos, semua program pemerintah memang demikian, seperti; daftar CPNS, BPJS, Vaksinasi, Prakerja, dan yang lainnya, validitas NIK menjadi syarat utama. Akhirnya, kesempatan mereka untuk mendapatkan haknya menjadi terhambat, bahkan (mungkin) gagal. Anomali NIK biasanya terjadi karena data ganda atau tidak ditemukan.  

Ironisnya, hal demikian tidak berlaku bagi hak politik seseorang. Setiap orang boleh menggunakan hak memlilih dan dipilih meski NIK-nya belum valid. Padahal, tidak ada keistimewaan antara hak satu dengan lainnya. Kalau setiap hak sama kedudukannya dalam konstitusi, harusnya sesorang yang memilih dalam pemilu ataupun mencalonkan diri sebagai eksekutif maupun legislatif, aturan yang sama harus diberlakukan. Dalam konteks ini, hak politik sepertinya dipermudah, sementara hak kesejahteraan dan lainnya birokrasinya tidak mudah.

NIK memang menjadi acuan administrasi kependudukan. Sebuah keabsahan seseorang sebagai warga Negara Indonesia. Bahkan belakang ini, ada wacana NPWP akan terintegrasi dengan NIK. Sebelumnya, administrasi dalam perbankan pun berbasis NIK, SIM, bansos, dan lainnya. Adakah rencana integrasi NIK melekat pada pemilu? Siapkah kita kehilangan berapa juta pemilih yang tidak bisa menggunakan hak suaranya? Atau gagalnya mencalonkan diri sebagai anggota legislatif karena NIK yang tidak valid?

Secara yuridis, UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu memang tidak mengatur detail tentang validitas NIK. Sedangkan pada Perpres No. 62 Tahun 2019, pelayanan dasar dan perlindungan sosial harus mendasarkan pada validitas NIK. Bukankah hak politik sama dengan hak-hak lainnya. Mengapa ada perlakuan berbeda?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline