Lihat ke Halaman Asli

Muh Arbain Mahmud

Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Menjadi Ekofeminis, Wasiat Kartini di Hari Bumi

Diperbarui: 22 April 2019   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: systemicalternatives.org

APA ITU EKOFEMINIS?

Sejatinya, pekan ini selain hari Hari Kartini, 21 April, ada satu hari baik lagi yang mungkin tidak kita sadari, yakni Hari Bumi 22 April. Maka bertolak dari dua momen tersebut penulis mengajak pembaca merekayasa nalar dan kesadaran tentang hikmah di dua hari baik tersebut. Mari mengingat dua momentum ini dalam satu wacana yakni menjadi ekofeminis, menjadi Kartini di Hari Bumi. Apa itu Ekofeminis?

Sebelumnya, dalam kajian filsafat dikenal Ekosofi, filsafat tentang keselarasan atau ekuilibrium lingkungan, dikenalkanpertama kali tahun 1972 oleh Arne Ness, tokoh Deep Ecology. Ekofeminisme adalah salah satu ragam ekosofi yang menguji relasi antara dominasi atas kaum perempuan dan dominasi atas alam.

Ekofeminisme merupakan jembatan yang menghubungkan isu-isu lingkungan dan isu-isu perempuan. Menurut Sachiko Murata, ada relasi yang erat antara perempuan dan bumi, sehingga ia menyebut: "alam sebagai ibu dan istri dan rahim perempuan sebagai alam atau bumi." 

Vandana Shiva, seorang dokter asal India, mengatakan ada kesamaan-kesamaan antara dominasi patriarkhal atas perempuan dan alam. Dalam perkembangannya, Ekofeminisme dimuati oleh nilai-nilai spiritual dan teologis dari tradisi-tradisi besar agama dunia serta kearifan budaya lokal yang ada dalam peradaban manusia.

Maka, menurut penulis, menjadi ekofeminis adalah menjadi manusia yang mempunyai kesadaran membela hak-hak perempuan sekaligus hak-hak alam. Mengapa perempuan harus dibela? Mengapa alam harus dijaga? 

KARTINI : PESAN KESADARAN PEREMPUAN

Membincangkan Kartini, simbol kebangunan kesadaran emansipatori perempuan Indonesia, tak luput dari wacana jender. Jender adalah pembagian peran lelaki dan perempuan berdasar konstruksi sosial budaya, semisal masyarakat Minangkabau menganut pola matriarkhi (garis keibuan) berbeda dengan masyarakat Jawa menganut patriarkhi (garis keturunan ayah). 

Perbedaan jenderdi berbagai daerah berdampak adanya perbedaan peran sosial lelaki dan perempuan di masyarakat tersebut, semisal: perempuan Jawa didapuk sebagai ibu rumah tangga (peran domestik) dengan berbagai idiom pendukung (dapur, sumur, kasur, masak, macak, manak; citra pinggan, pigura, peraduan, pilar rumah tangga, pergaulan),sedang perempuan Bali atau Dayak banyak berperan di publik (pekerja ladang,pasar). 

Gender beda dengan Sex, pembagian peran lelaki dan perempuan berdasar jenis kelamin. Seks merupakan kodrat biologis, dimana perempuan menjalankan fungsi reproduktif (mengandung, melahirkan, menyusui). Sederhananya begitu. Apa masalahnya?

Masalahnya, mayoritas masyarakat Indonesia menganut paham patriarkhi dan dalam terapan cenderung merugikan perempuan, sehingga melahirkan ketidakadilan gender.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline