Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fakhrial

Electrical Engineering Student at Jember University and Renewable Energy Enthusiast

Indonesia Sedang Menyiapkan Strategi Counter Attack! Untuk Apa?

Diperbarui: 20 Februari 2022   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Merujuk pada RUEN atau Rencana Umum Energi Nasional, tercatat bahwa energi yang paling banyak dikonsumsi oleh Indonesia adalah minyak bumi dan batu bara. Hal ini tentu berdampak pada banyak sektor, utamanya sektor perekonomian. 

Bayangkan apabila angka kebutuhan minyak bumi dan batu bara tidak dapat dikontrol dengan baik menyesuaikan dengan angka produktifitas energi yang dibutuhkan, maka pemerintah perlu memikirkan untuk melakukan impor energi atau setidaknya mulai memikirkan untuk pemanfaatan energi terbarukan.

Data KESDM menunjukkan sejak tahun 1965 hingga tahun 1995 konsumi minyak bumi di Indonesia mengalami peningkatan yang ekstrim berbanding lurus dengan meningkatnya produksi minyak bumi di Indonesia (Lihat di Grafik 1.1). 

Angka kebutuhan tersebut terus meningkat hingga saat ini, yakni mencapai +- 1,5 juta barel/day. Sayangnya, tingkat produktifitas minyak bumi dari 1996 hingga sekarang justru menunjukkan grafik yang terbalik, dimana produksi minyak bumi hanya berkisar 700 ribu barel/day sedangkan angka konsumsi mencapai 1,5 juta barel/day yang akhirnya menimbulkan gap mencapai 800 ribu barel/day  

Menyikapi akan adanya gap antara tingkat konsumi dan produktifitas minyak bumi di Indonesia, pemerintah pun mengambil langkah dengan melakukan impor minyak. 

Langkah ini perlu sangat diperhatikan oleh Pemerintah, pasalnya langkah ini juga akan berpotensi berakibat buruk dalam beberapa sektor jika dilakukan secara terus menerus. 

Contohnya dalam sector pangan, karena dapat dilihat sendiri Indonesia masih perlu mempertimbangkan pangan karena termasuk negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi di dunia. Sehingga perlu adanya strategi jitu untuk bisa memberikan counter yang mantap dalam menanggapi permasalahan tersebut.

Merujuk pada RUPTL 2021 -- 2030 dalam KEN atau kebijakan energi nasional, menyatakan bahwa pada tahun 2025 peran energi baru dan energi terbarukan paling sedikit 23% sepanjang dalam sector keekonomiannya masih terpenuhi, peran minyak bumi kurang dari 25%, peran batubara minimal 30%, dan peran gas bumi minimal 22%. Sehingga dari kebijakan yang ditumpahkan dalam RUPTL tersebut, dapat disimpulkan bahwa indonesia masih memiliki harapan untuk melewati permasalahan yang disebabkan dari kurangnya energi primer tersebut.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumberdaya mineralnya memiliki banyak potensi yang bisa dimanfaatkan dalam bidang energi nasional, terutama dalam energi baru dan terbarukan. 

Hingga saat ini telah tercatat bahwa potensi EBT di Indonesia mencapai 417.8 gigawatt (GW). Tidak hanya itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, potensi tersebut berasal dari arus laut samudera sebesar 17.9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari atau surya 207,8 GW.

Menanggapi hal tersebut, Indonesia sebagai negara berkembang sebenarnya telah melakukan strategi yang yang mantap guna memberikan counter untuk menghadapi permasalahan energi primer yang juga merembet ke perekonomian negara. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline