Lihat ke Halaman Asli

Muhammad SyaifulArief

Roosibun writer

Transformasi Ngopi Sosial Haryo Selo Soemardjan

Diperbarui: 13 September 2022   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di majalah Belanda Delpher perkebunan kopi tahun 1828 penuh dengan kedamaian, kemewahan, dan alam yang tenang. Wong londo dijamu dengan segelas kopi, bir dan makanan sambil menikmati pertunjukan orkestra lokal di gedung utama perkebunan kopi Losari yang penuh hiasan. Pertunjukan musik keroncong tradisional, ditambah barista melankolis bak para budak yang melayani rajanya.1

Yogyakarta memiliki ribuan angkringan dengan gaya dinamisnya sekarang kafe. Kamu bisa temukan di sepanjang jalan kota pelajar ini. Kekhasan nama jawa yang terpampang menyoroti netra sedang berkendara, membuat kuriositas ingin masuk kedalamnya. Wong-wong berkata ngopinya Yogyakarta beda?  Kalau di kita ngopinya menggibah, domino, uno, tebak angka.

Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan yang akrab dengan gelar prof nya dari UI. Seorang pendiri sekaligus dekan fakultas ilmu kemasyarakatan kini dengan gaya dinaminsya FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Bapak selo merupakan bapak sosiologi pribumi asli yang dilahirkan di Yogja sekaligus dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Beliau merupakan sosok yang sangat displin, tauladan hidup bagi cantrik-cantrik Yogya.2

Selo di besarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakenya yakni Raden Ajeng Tumenggung Padmonegoro seorang pejabat tinggi dikantor kesultanan Yogyakarta. Berkas jasa sang kakeklah nama Soemardjan yang mengenyam pendidikan barat.

Bapak selo sosok kedinamisan yogja kini, yang terkenal dengan sajian manisnya ditambah manisnya seruput kopi dikafe. Tak kenal waktu: pagi, siang, sore, dan malam ngopi seakan menjadi kewajiban setiap harinya. Kopinya bapak selo ini mengajarkan studen tekun dan rajin untuk mengisi tugas-tugas kampus. Tak hanya itu pula, kopinya bapak selo ini mengajarkan menjalin relasi dalam kelas-kelas sosial.

Kedinamisan kopinya selo juga studen rasakan di masjid Jendral sudirman. Kala kitu ngopi bersama Ust. Fahrudin Faiz dan teman-teman dari berbagai universitas di Yogja tidak hanya muslim, non muslim pun datang ikut ngopi. Satiran dari temanya penulis ''loh! Kok gak ada hijabnya? ''penulis menjawab ''jadi muslim jangan terlalu kaku, agar ngopinya semangat perlu hukum aksi dan reaksi''kalau tidak ada perempuan ngantuknya ngopinya.

Pendekatan ngopi itu sosial yang bagus, kedinamisan angkringan kafe pindah ke masjid merupakan pendekatan dakwah yang luar biasa. Pembentukan sosial lewat ngopi perlu kita stimuluskan kepada remaja-remaja kini yang jarang ke masjid. Maka dalam kitab Taisirul kholaq mengenai adabul masajidi ''siapa yang berkunjung ke masjid dan memakmurkanya akan dimuliakan tamu tersebut oleh Allah, karena masjid buyutullah rumahnya Allah SWT''.

Sejarah kopi di Yogja ini melimpah mulai dari kopi Joss yang memiliki keunikan penyajianya. Kopi hitam yang dibuat dicampurkan dengan potongan arang masih membara sehingga berbunyi joss. Ada juga kopi Suroloyo dari kulon Progo ditemani sejuk dan dinginya kabut, tak heran kopi ini menjadi seruputan wajib studen. Ada juga kopi Merapi dari Cangkringan Yogya kopi arabika milik pak Kasno menjadi sruputan wajib studen bila ingin muncak di Merapi.

Pada tahun 1969, Belanda membawa kopi dari Malabar dan India dibawah ke Jawa. Kemudian dibudidayakan oleh Belanda di Jawa, sampel kopi dari Jawa diambil diteliti di Amsterdam, alhasil Jawa memiliki kualitas kopi yang baik. Perkebunan kopi di Indonesia kala itu hanya menanam kopi Arabika, setelah itu mendatangkan spesies kopi Liberika. Tahun 1907 Belanda mendatangkan spesies baru yakni kopi Robusta.

Yogyakarta merupakan sentral kebudayaan yang melimpah ruah. Derasnya penduduk luar ingin belajar di kota budaya itu. Namun pemandangan kurang elok terjadi pada pengendara remaja yang ugal-ugalalan tidak mau mengalah di ring road. Dibalasnya dengan wong berbudaya''wong enom gak nduwe adab''. Karena lemahnya pengendalian sosial dalam membangun dan membendung nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan nilai etika masyarakat Yogyakarta lama.

Maka perlunya ngopinya bapak Selo mengenai penguatan sistem sosial dari kesutanan Yogyakarta kepada masyarakat. Perlunya ngopi antara kesultanan Yogyakarta terhadap organisasi masyarakat dalam memperkuat norma-norma sosial masyarakat. Secara sosio-historis agen perubahan sosial adalah jutaan mahasiswa di Yogyakarta. Bapak selo bilang mahasiswa ini sebagai komunikator antara sultan dan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline