Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Mustaqim

Peminat kajian sosial, politik, agama

Ada Baiknya Kita Tidak Arab Sentris

Diperbarui: 20 Mei 2018   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(zonalima.com)

Beberapa waktu lalu, sempat viral di media sosial tentang fenomena tulisan Arab di rok artis Agnes Mo. Tulisan "Al-muttahidah" dalam huruf Arab ini oleh sebagian orang dianggap sebagai penistaan agama Islam. Padahal, tulisan tersebut tidak lain adalah label sebuah produk yang konon menyampaikan pesan persatuan.

Fenomena ini sebenarnya menandaskan bahwa masih banyak sebagian orang Islam yang memandang Islam dan Arab secara tumpang tindih. Bahkan pada titik tertentu, Islam dan Arab dianggap sebagai dua entitas yang sama. Arab ya Islam.

Pemaknaan ini pada sebagian kecil persinggungan bisa dibenarkan, mengingat Islam lahir di Arab, kitab sucinya menggunakan bahasa Arab, kiblatnya (ka'bah) berada di Arab dan beberapa ritual ibadahnya juga berbahasa Arab. Namun harus dipahami, pada persinggungan yang lebih luas harus ditegaskan bahwa Islam bukanlah Arab.

Jika dirunut lebih jauh, fenomena ini bisa sampai pada apa yang disebut dengan kecenderungan Arabisme. Arabisme bisa dipahami sebagai cara beragama yang selalu disandarkan pada model Arab. Atau dengan bahasa yang lebih mudah, berIslam yang paling benar adalah berIslam yang sesuai dengan budaya Arab. Di Indonesia, model Arabisme akhir-akhir ini cukup menguat.

Beberapa indikator tentang hal ini misalnya, munculnya kelompok bersorban dan berjubah, pengusungan sistem khilafah, sampai pada penggunaan ana-antum dalam berkomunikasi. Bahkan beberapa kalangan mengidolakan Arab -- lebih tepatnya Arab Saudi -- sebagai model ideal dalam beragama, termasuk sistem politik dan pemerintahan.

Arabisasi dan Pribumisasi

Fenomena Arabisme ini pada saatnya akan melakukan proses Arabisasi sebagai gerakan dakwahnya. Arabisasi ini menjalar pada budaya-budaya non Arab dalam proses dakwah Islam. Menyebarkan dakwah Islam dengan melekatkan atribut dan label Arab secara apa adanya, sembari menganggap yang tidak sesuai dengan dirinya adalah bid'ah atau sesat menjadi arus utama model Arabisasi ini.

Di Indonesia gagasan tentang Arabisasi tampaknya tidak begitu signifikan, meskipun secara getol dan sporadis  dilakukan.  Hal ini tidak lepas dari proses dakwah Islam awal yang lebih bernuansa kearifan lokal. Para penyebar Islam di nusantara, lebih menggunakan proses akulturasi dalam penanaman nilai-nilai Islam. Hal ini yang oleh Gusdur disebut sebagai pribumisasi.

Pribumisasi mengasumsikan bahwa nilai-nilai dan kearifan budaya yang telah ada, tidak kemudian diubah dengan budaya Islam (Arab). Namun bagaimana nilai dan prinsip Islam itu merasuk ke dalam sistem hidup dan budaya masyarakat setempat.

Islam Nusantara barangkali adalah sublimasi pribumisasi Islam melalui kearifan pribumi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran, Islam di Indonesia ini dikenal dengan model keberIslaman yang toleran. Konsep hanafiah al-samhah, kecenderungan untuk selalu lurus dengan tetap menyesuaikan diri dengan tabiat masyarakat, kiranya menjadi karakter pribumisasi Islam ini.

Dalam bahasa jawa, dikenal istilah lenceng galeng, di mana lenceng atau lurusnya galeng (pematang sawah) itu tidak kemudian seperti lurusnya penggaris, namun ada sekedar belokan, menanjak-menurun bahkan terkadang bergelombang. Ini barangkali konsep Islam yang tasamuh (seakar dengan kata samhah), toleran terhadap fenomena pribumi dan lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline