Lihat ke Halaman Asli

M Saekan Muchith

Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Kuota Keterwakilan Perempuan, Bukti Kelemahan Perempuan

Diperbarui: 12 Juli 2018   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RMOL Sumsel

Oleh: M. Saekan Muchith

Perbincangan tentang keterlibatan atau keterwakilan perempuan dalam ranah politik selalu mencuat ke permukaan setiap kali menjelang pencalonan anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 

Undang undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum jelas jelas mengatur bahwa peserta pemilu bisa dinyatakan sah sebagai peserta pemilu tahun 2019 setelah memenuhi beberapa syarat salah satunya harus " menyertakan paling sedikit 30 % ( tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat. (Pasal 173 ayat 2 huruf e).

Dapat dipahami bahwa Partai Politik " dipaksa" agar mencalonkan perempuan sedikitnya 30 % dari jumlah yang harus dipenuhi. Kalau sampai partai politik tidak bisa menyertakan sekurang kurangnya 30 % (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan maka secara otomatis KPU bisa mendiskualifikasi sebagai peserta pemilu tahun 2019.

Kalangan perempuan merasa senang terhadap regulasi yang mewajibkan semua parpol memenuhi kuota keterwakilan munimal 30 % perempuan, bahkan menghendaki lebih dari itu. Kuota keterwakilan perempuan tidak di hitung berdasarkan akumulasi secara nasional melainkan dihitung berdasarkan masing masing daerah pilihan (Dapil) mulai tingkat DPRD Kabupaten/ Kota, DPRD Propinsi dan DPR RI. Alasanya sederhana, semakin banyak perempuan masuk di lembaga legislatif akan semakin efektif perjuangan terhadap hak hak perempuan.

Realitas Ketercapaian

Berdasarkan data KPU pusat, mayoritas partai politik peserta pemilu tahun 2014 tidak bisa memenuhi kuota mininal 30 % keterwakilan perempuan yang duduk sebagai anggota DPR RI. Hanya Partai Persatuan Pembangunan ( PPP) yang bisa memenuhi diatas ambang batas minimal yaitu 34% dari total anggota DPR RI dengan rasio 29 laki laki - 10 perempuan). 

Partai demokrat memiliki tingkat keterwakilan 27, 08 %, Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB) 27, 02%. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP) 23, 86 %, Partai Amanat Nasional ( PAN), 22, 53%, Partai Golkar 21, 33 %, Partai Gerindra 17, 74 %, Partai Nasdem 12, 90%, dan partai politik yang paling kecil keterwakilan perempuan di DPR adalah PKS yaitu hanya 2,5%.

Ketidak tercapaian kuota keterwakilan perempuan di parlemen tidak hanya ditingkat Indonesia. Keterwakilan perempuan di parlemen ASEAN juga tidak bisa mencapai angka 30 %. Keterwakilan perempuan di parlemen ASEAN tertinggi adalah Filipina yaitu 29,50%, kemudian Laos 27, 50%, disusul Vietnam 26, 70%. Indonesia berada posisi ke enam dengan 19, 80% berada di bawah Kamboja yang memiliki keterewakilan perempuan 20, 30 %. Sedangkan keterwakilan perempuan terendah ditingkat ASEAN adalah Thailand yaitu hanya 4, 80%.

Tidak tercapainya keterwakilan perempuan di sebabkan oleh beberapa hal:

Pertama, mekanisme seleksi internal partai yang kurang transparan atau terbuka sehingga tidak semua perempuan bisa mengikuti kompetisi tersebut. Kedua, ketertarikan terhadap persoalan politik perempuan sangat rendah yang disebabkan hambatan kultural, seperti persepsi bahwa politik itu kotor, licik dan penuh tipu muslihat yang hanya menambah dosa. Dan bisa hambatan struktural seperti tekanan dari pihak pihak lain sehingga perempuan tidak punya keberanian untuk menjadi calon anggota legeslatif. Ketiga, kemampuan perempuan yang rendah dalam melakukan gerakan politik, sehingga tidak mampu memenangkan kompetisi dalam perebutan kursi wakil rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline