Lihat ke Halaman Asli

Muara Alatas Marbun

Alumni U Pe' I

Lagu di Radio, antara Selera dan Budaya

Diperbarui: 4 Maret 2019   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Victoria Borodinova from Pexels

"rreewwkk" suara berpindah saluran radio selalu terdengar dari perangkat radio yang digunakan oleh keluargaku dulu. Meskipun kini radio sudah lama mampu diakses lewat gawai, namun "rreewwkk" masih saja ada karena masalah frekuensi yang tak balance antara satu saluran dengan saluran lainnya. 

Seleraku tersendiri dalam mencari-cari hiburan dikala TV dikuasai emak-emak dan Internet yang masih saja berisi hiburan tiktok yang meracuni moral hidup yang bisa saja terpengaruh.

Tak pelak, lagu di radio selalu menjadi hiburan bagi para penikmat radio dikala menikmati tugas atau menikmati tidak adanya tugas. Sensasi tersendiri dalam mencari radio mirip seperti mencari harta karun atau berbelanja di bazar pinggir jalan. 

Menemukan lagu yang nyaman dengan mood adalah inti dari mendengarkan lagu tersebut dengan lama, entah itu lagu lama, baru atau yang dulu pernah terlewat dari mp3 playlists.

Lagu dan radio tidak bisa dipisahkan begitu saja mengingat saat ini radio pun memiliki kebutuhan yang sama dengan media massa elektronik lainnya. Rating yang dicari antara lain: seringnya para pemirsa menggunakan media tersebut, dan durasi menikmati media tersebut. 

Maka, hiburan seperti lagu seakan menjadi ujung tombak dari media radio yang tak lekang oleh waktu agar para penikmat radio tidak beralih hiburan ke media elektronik lainnya.

Itu kembali lagi kepada selera masing-masing penikmat hiburan, namun bagi saya sendiri itu semua tidak akan terganti. Radio selalu menghadirkan kejutan dibalik suara apa yang akan muncul. Seakan-akan kita memasuki ruang gelap dimana suara dan rabaan jari kita menjadi mata untuk menemukan hal-hal esensial bagi mood kita dalam mencari hiburan maupun informasi.

Oke, zaman radio memang berpeluang berakhir karena internet dan TV masih menguasai industri hiburan dengan keunggulan visualnya. Tapi, keduanya tidak bisa membantah konsep penyajian auditori yang makin hari makin kreatif diolah oleh para pemilik saluran radio. Mereka terus berubah sehingga radio pun tak semena-mena ditinggalkan karena cuma masalah sepele macam visual.

Puak* orang zaman dulu sering sekali bergerombol memasang telinga untuk menangkap ide dari informasi atau sekedar memperjelas lagu yang melewati gendang telinga mereka. Puak-puak tersebut saat ini tidak akan kita temukan lagi ditengah arus globalisasi yang menghadirkan earpiece, headphone, mp3 system, dan yang terbaru adalah DAB (Digital Audio Broadcast). 

Mereka membuat segerombol orang yang bercengkrama bersama radio menjadi terpisah dengan lagu favorit mereka, memperlebar jarak mereka berkumpul dalam satu hobi.

Budaya mencari hiburan pun mau tidak mau ikut berubah, berubah kearah individualitas yang digemerlapi kenyamanan. Sosialitas kita dipaksa untuk menghilang demi kenyamanan tersebut dan membuat kita hanyut dalam keyakinan bahwa hiburan kita adalah yang terbaik. Tahu apa yang terjadi? yups, orang saling mengejek bahkan merendahkan hiburan orang lain seakan mereka tidak lebih berbudaya dari seleranya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline