Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Paradoks Tani

Diperbarui: 25 September 2022   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lustrasi padi menguning (Dokpri)

Ayahku seorang buruh tani. Ibuku istri seorang buruh tani. Aku dan dua adikku anak-anak keluarga buruh tani.

Keluargaku terhimpit di dasar piramida pengorbanan petani. Ayahku selalu menerima bagian terkecil dari harga gabah yang dipatok negara dan tengkulak.

Ayahku bekerja delapan belas jam per hari sepanjang tahun. Tapi upahnya tak pernah cukup menyokong hidup sekeluarga. Ada hari-hari aku dan dua adikku harus menanggung lapar. Saat ayah dan ibu memanen padi milik tuan tanah di sawah.

Harga semua bahan pangan telah naik berulang kali. Konon mengikuti kenaikan gaji pegawai negeri, listrik, bahan bakar, dan pupuk. Tapi upah ayahku senantiasa tabah tak pernah ikut naik.

Hari ini kudengar para pejabat dan tokoh tani yang tak pernah kenal ayahku mengucapkan selamat hari tani nasional. Tepat di saat tetangga mengikatkan bendera kuning pada pohon waru di depan gubug kami. Ayahku telah berpulang membawa serta radang paru, sirosis hati, dan malnutrisi dalam raga ringkihnya.

Ibuku, aku, dan dua adikku tak hendak bersedih. Sebab ayahku telah berpesan, dia pergi untuk menyiapkan tempat bagi kami di keabadian sana.

Kami pasti akan menyusuli ayahku ke sana. Ini hanya soal waktu. (eFTe)

*Ditulis untuk memperingati Hari Tani Nasional 24 September 2022.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline