Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Admin Kompasiana Digaji Kompasianer

Diperbarui: 23 September 2022   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gajian (Foto: Shutterstock via kompas.com)

"Kompasianer adalah sub-spesies Homo sapiens yang berani tekor asal (belum tentu) sohor."-Engkong Felix

Kalau kamu melakukan bisnis berbasis kontribusi khalayak, maka praktis kamu digaji oleh khalayak untuk itu.

Contoh tipikalnya ACT. Basis bisnisnya adalah donasi dari khalayak, wujud solidaritas bagi mereka yang butuh (menurut ACT). Nah, bukankah pengelola ACT mengambil 13.7 persen dari donasi itu untuk menggaji diri sendiri?

Atau mungkin mengambil manfaat lebih melalui peternakan duit. Misalnya main di pasar saham. Bukankah marginnya mungkin masuk ke dompet pengurus ACT?

Dalam skala negara juga begitu. Bukankah rakyat (citizen) membayar pajak, retribusi, dan aneka pungutan lain untuk antara lain menggaji pemerintah?

Rakyat menggaji para personalia eksekutif, legislatif, dan judikatif. Dan banyak dari mereka hidup mewah, bukan?.

Sebenarnya rada absurd juga. Kita, rakyat, menggaji polisi untuk menangkap kita; menggaji jaksa untuk menuntut kita; menggaji hakim untuk menjatuhkan vonis pada kita. Tentu kalau kita ketahuan melakukan pelanggaran hukum pudana, misalnya.

Begitu juga kita menggaji anggota DPR untuk membuat undang-undang yang mengatur hidup kita.

Dan menggaji presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, camat, samoai lurah/kades untuk nenguasai dan memerintah kita. Kita sebut mereka penguasa dan pemerintah, bukan?

Jangan marah dan sedih. Itulah kobsekuensi dari konteak sosial bernegara.  Hanya ada satu cara untuk menghindarinya: jangan menjadi warga negara. Mau?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline