Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Poltak Kehabisan Ide di Akhir Tahun

Diperbarui: 28 Desember 2020   04:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Salak dipandang dari atas sebuah gedung di Cawang, Jakarta. Hanya untuk pemanis saja, agar tak mual baca artikel ini. (Dokpri)

Kentut isteri, itu salah satu hal yang sangat disyukuri Poltak di penghujung akhir 2020 ini. Kok, ya, hal sejijay itu, sih, yang disyukuri? Apa tidak ada yang lebih bergengsi, gitu?

Eits, jangan anggap remeh, ya. Kentut itu hal yang sangat bernilai tinggi di masa pandemi Covid-19 ini. Setiap kali mendengar bunyi kentut isterinya, yakinlah Poltak bahwa isterinya sehat walafiat. Kentut tandanya sehat. Semakin keras bunyinya, semakin kurangajar. 

Lalu, setiap kali mengedus bau kentut isterinya, yakinlah Poltak bahwa dirinya sehat walafiat. Tidak terpapar Covid-19 yang berdampak kehilangan daya indera pembauan. Semakin bau kentut, semakin jauh menghindar. 

Tapi kehilangan daya membaui itu adalah satu dari dua dampak Covid-19 terhadap indera. Katanya, Covid-19 juga menumpulkan indera pencecap. Semua makanan dan minuman jadi sama nir-rasa: hambar. 

Terkait itu, kemarin isteri Poltak meneruskan satu pesan WAG-nya. Dikisahkan, seorang suami yang baru pulang dari kantor, mencicipi masakan isterinya, lalu berkomentar, "Bu, rasanya, kok, hambar, ya."

Kontan isterinya menelepon Gugus Tugas  Covid-19, minta agar suaminya dijemput pakai ambulans, karena menunjukkan gejala terpapar Covid-19 yang parah.

Maksud isteri Poltak sangat gamblang. Suami-suami jangan pernah bilang  rasa masakan isteri masing-masing hambar. Bilang saja enak. Toh, setiap isteri juga tahu suaminya bohong.

Hal utu terutama penting dicamkan oleh suami-suami yang doyan masakan isteri orang. Entah itu isteri pemilik kantin kantor atau isteri pemilik warteg. Jangan coba-coba membanding rasa. Di rumah para suami itu makan gratis. 

Karena itu, daripada mengomentari rasa masakan isterinya, Poltak lebih suka membaca dan mengomentari artikel teman-temannya di Kompasiana.  Dengan berkomentar, secara tidak langsung mengabarkan dirinya sehat walafiat. Jika komentarnya dibalas, berarti teman Kompasianer waras juga. Kalau tak dibalas, berarti kehabisan kuota. Ya, harus berpikir positif, bukan?

Tapi ada kalanya Poltak tergoda berpikir negatif. Baru saja misalnya Daeng Khrisna menaja dan mengagihkan artikel "Jangan Mau Jadi Penulis." Sub-judulnya, terselip dalam teks, "Kecuali segila Khrisna Pabichara."

Prasangka Poltak: "Artikel itu mencerminkan katakutan amat sangat dalam diri Daeng Khrisna." Takut mata pencahariannya semakin seret, jika semakin banyak orang mau menjadi penulis. Sebab persaingan semakin ketat. Ya, salah sendiri, mengapa pula sudi gratisan mengajari para Kompasianer KPB  seni menulis kreatif dan produktif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline