Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Poltak Kehabisan Ide di Akhir Tahun

27 Desember 2020   15:40 Diperbarui: 28 Desember 2020   04:25 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Salak dipandang dari atas sebuah gedung di Cawang, Jakarta. Hanya untuk pemanis saja, agar tak mual baca artikel ini. (Dokpri)

Kentut isteri, itu salah satu hal yang sangat disyukuri Poltak di penghujung akhir 2020 ini. Kok, ya, hal sejijay itu, sih, yang disyukuri? Apa tidak ada yang lebih bergengsi, gitu?

Eits, jangan anggap remeh, ya. Kentut itu hal yang sangat bernilai tinggi di masa pandemi Covid-19 ini. Setiap kali mendengar bunyi kentut isterinya, yakinlah Poltak bahwa isterinya sehat walafiat. Kentut tandanya sehat. Semakin keras bunyinya, semakin kurangajar. 

Lalu, setiap kali mengedus bau kentut isterinya, yakinlah Poltak bahwa dirinya sehat walafiat. Tidak terpapar Covid-19 yang berdampak kehilangan daya indera pembauan. Semakin bau kentut, semakin jauh menghindar. 

Tapi kehilangan daya membaui itu adalah satu dari dua dampak Covid-19 terhadap indera. Katanya, Covid-19 juga menumpulkan indera pencecap. Semua makanan dan minuman jadi sama nir-rasa: hambar. 

Terkait itu, kemarin isteri Poltak meneruskan satu pesan WAG-nya. Dikisahkan, seorang suami yang baru pulang dari kantor, mencicipi masakan isterinya, lalu berkomentar, "Bu, rasanya, kok, hambar, ya."

Kontan isterinya menelepon Gugus Tugas  Covid-19, minta agar suaminya dijemput pakai ambulans, karena menunjukkan gejala terpapar Covid-19 yang parah.

Maksud isteri Poltak sangat gamblang. Suami-suami jangan pernah bilang  rasa masakan isteri masing-masing hambar. Bilang saja enak. Toh, setiap isteri juga tahu suaminya bohong.

Hal utu terutama penting dicamkan oleh suami-suami yang doyan masakan isteri orang. Entah itu isteri pemilik kantin kantor atau isteri pemilik warteg. Jangan coba-coba membanding rasa. Di rumah para suami itu makan gratis. 

Karena itu, daripada mengomentari rasa masakan isterinya, Poltak lebih suka membaca dan mengomentari artikel teman-temannya di Kompasiana.  Dengan berkomentar, secara tidak langsung mengabarkan dirinya sehat walafiat. Jika komentarnya dibalas, berarti teman Kompasianer waras juga. Kalau tak dibalas, berarti kehabisan kuota. Ya, harus berpikir positif, bukan?

Tapi ada kalanya Poltak tergoda berpikir negatif. Baru saja misalnya Daeng Khrisna menaja dan mengagihkan artikel "Jangan Mau Jadi Penulis." Sub-judulnya, terselip dalam teks, "Kecuali segila Khrisna Pabichara."

Prasangka Poltak: "Artikel itu mencerminkan katakutan amat sangat dalam diri Daeng Khrisna." Takut mata pencahariannya semakin seret, jika semakin banyak orang mau menjadi penulis. Sebab persaingan semakin ketat. Ya, salah sendiri, mengapa pula sudi gratisan mengajari para Kompasianer KPB  seni menulis kreatif dan produktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun