Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Intuisi, Serendipitas, dan Kompasianer Om Gege nan "Lancang"

Diperbarui: 19 Juli 2020   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrasi dari qerja.com


(01)
Jengkel. Begitu rasa hatiku kepada rekan Kompasianer Om Gege alias Tilaria Padika alias Tuan Martinuz. Bukan karena dia gemar gonta-ganti nama.  Tapi karena "lancang" membuka rahasiaku ke ruang publik.  

Menanggapi artikelku, "Jangan Mengejar Label 'Artikel Utama' di Kompasiana" (K.18.06.20), rekan Om G, begitu saya biasa menyapanya, berujar: "Makna di balik artikel ini:

"Kau akan tahu, kapan seorang profesor/sosiolog alih keahlian jadi pemburu burung puyuh. Itu saat ia membuang metodologi dan pembuktian-pembuktian ke atas para-para dapur; menggantinya dengan intuisi."

Intuisi, itulah metodeku, suatu "metode tanpa metode", dalam menulis artikel. Sejatinya, itu metode rahasiaku, tapi kini telah diungkap oleh Om G.  Karena itu, untuk menghindari kesalah-pahaman, kini aku wajib menjelaskannya. Itu yang membuatku jengkel.

(02)
Ujaran Om G itu benar belaka. Sejauh berkait proses penulisan artikel yang kutempuh.  

Saya sebenarnya takjub.  Dari mana rekan Om G ini belajar membaca makna tersirat di balik sebuah kalimat.  Saya curiga dia telah membaca tuntas karya-karya Clifford Geertz yang dibangun dengan pendekatan "lukisan mendalam" (thick description).

Baiklah, Om G.  Saya tak peduli dari mana dikau mempelajari kemampuan itu. Saya hanya peduli pada satu fakta bahwa saya kini punya seorang "musuh terkasih" bernama Om G di Kompasiana.

Musuh terkasih?  Ya, itu hanya satu istilah yang saya sematkan kepada rekan Kompasianer yang menjadi "lawan baku pikir" terpercaya di Kompasiana.  Ada sejumlah orang musuh semacam itu bagiku. Om G adalah salah satunya.

Saya percaya pada kompetensi rekan Om G ini. Karena itu, ketika rekan Reba Lomeh menulis artikel "Menyigi Kesetaraan Gender dalam Rumahtangga Petani Manggarai" (K.14.07.20), lalu Om G memberi saran konstruktif, saya hanya bisa mengimbuhi, "Gui, Om G itu musuhku yang kukasihi, dengarkanlah dia."

(3)
Kembali kepada intuisi, "metode tanpa metode" yang kuanut dalam penulisan artikel.

Saya mengadopsinya dari anarkisme metodologi a'la filsuf Paul Feyerabend (yang pasti sudah dibaca Om G). Dialah sejatinya yang telah "membuang metodologi dan verifikasi ke para-para dan menggantinya dengan intuisi." Saya tak lebih dari "seekor bebek yang mengekor di belakangnya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline