Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Sosiologi Pekuburan Untoroloyo Solo

Diperbarui: 11 September 2017   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu sudut pekuburan Untoroloyo, Solo (Dokpri)

Saat berziarah ke pekuburan umum Untoroloyo, Mojosongo, Jebres Solo, 5 Agustus 2017 lalu, saya tertarik pada sekelompok orang yang awalnya duduk-duduk santai di bawah naungan kamboja.

Begitu saya dan anggota keluarga turun dari mobil, mereka langsung menghambur datang menghampiri. "Ke makam siapa, Mas?" tanya  seorang lelaki paruh baya, belakangan saya tahu namanya Pak Agus.

"Keluarga Kebalen," sahut ipar saya sekenanya. Dengan cepat Pak Agus menuntun kami ke sekelompok makam. Dengan fasih dia menjelaskan makam siapa saja itu, apa hubungan keluarga antar mendiang, kapan meninggalnya, dan apa penyebab berpulangnya.  Sungguh menakjubkan pengetahuannya.

Begitu kami mendatangi satu makam, maka sekelompok ibu-ibu langsung datang dan menyapu bersih kuburan dari dedaunan kering. Sekaligus mencabuti rerumputan yang tumbuh di sekelilingnya.

Makam di Untoroloyo umumnya dikijing, diberi rumahan batu atau beton. Karena itu rerumputan hanya mungkin tumbuh di sekelilingnya. Ini beda dengan pekuburan di Jakarta. Di Jakarta, misalnya Kampung Kandang, kuburan  tidak boleh dikijing, hanya boleh digulud dan ditanami rumput jepang.

Setiap kami beringsut pindah ziarah ke makam lain, maka ibu-ibu tadi langsung mengikuti dan membersihkan makam yang kami datangi. Kejadian seperti itu berulang pada empat unit makam.  Saya kira pasti bisa lebih, kalau kami mengikuti panduan Pak Agus yang fasih menunjukkan makam dan hubungan kerabat dengan mendiang di bawahnya.

Seusai ziarah, ketika akan beranjak pulang, Pak Agus dan kelompok ibu-ibu tadi mengelilingi kami minta disawer ala kadarnya. Sepupu saya, yang tinggal di Solo,  rupanya sudah paham soal ini, sehingga di kantongnya dia sudah  menyiapjan segepok lembar rupiah Rp 2,000-an. Masing-masing ibu tadi mendapat Rp 2,000.

Tapi tentu saja mereka tidak puas. Minta ditambah lagi. Maka masing-masing diberi lagi Rp 2,000. Tidak puas dengan itu, mereka juga minta pada saya. Maka saya harus mengorek habis uang Rp 2,000-an  dari dompet, yang sayangnya tidak banyak.

Di antara anggota kelompok itu, Pak Agus lah yang menerima paling banyak. Dia mendapat Rp 20,000 dari sepupu saya. Masih merapat juga ke saya, sehingga uang Rp 10,000 di dompetku pindah pula ke dompetnya.

Pak Agus menerima paling banyak karena dia adalah pemimpin kelompok perawat makam itu. Dia dan ibu-ibu dalam kelompoknya adalah warga kampung Debegan, berbatasan dengan pekuburan Untoroloyo itu.

Rupanya pekerjaan merawat makam itu merupakan pekerjaan turun temurun.  Posisi sebagai pimpinan informal kelompok itu diwarisi Pak Agus dari almarhum ayahnya. Dialah yang mengatur siapa saja yang boleh menjadi anggota kelompoknya. Juga mengatur pembagian rejeki. Sebab sering kali peziarah tidak mau repot melayani satu per satu para perawat makam. Sejumlah uang diserahjan ke Pak Agus, dan tugasnyalah untuk membagi secara adil kepada anggota kelompoknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline