Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Tak Ada Lagi Malam dan Fajar untuk Elie Weisel

Diperbarui: 4 Juli 2016   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Elie Wiesel / boingboing.net

Perkenalanku dengan Elie Wiesel, putra Yahudi peraih Nobel Perdamaian 1986, bermula di sebuah toko buku. Tepatnya toko buku Gramedia.  Di Jakarta, 6 Agustus 1990.

Elie Weisel memperkenalkan diri padaku dalam rupa novel yang mencabik jiwa. "Malam" (La Nuit), terbitan Yayasan Obor Indonesia, 1988. 

Melalui "Malam", Elie Weisel memperkenalkan diri sebagai Eliezer. Seorang anak Yahudi, 14 tahun, yang mengalami "keselamatan" dari pembantaian di kamp Auschwitz dan Buchenwald, dari holocaust, yang digambarkannya sebagai "malam", saat ketika Tuhan "mati".

"Kematian" Tuhan digambarkannya secara teramat tragis. Melalui ayahnya yang menyerukan namanya, "Eliezer", di saat terakhir sebelum tewas dibantai algojo Nazi. "Eliezer", artinya "Tuhanku pertolonganku".  Dan Tuhan tidak menolong. Eliezer kecil tak kuasa menolong ayahnya.

Eliezer juga tak kuasa menolong ibu dan adik perempuan terkecilnya, saat dibakar hidup-hidup oleh Nazi di tungku pemusnah Yahudi, pada hari pertama mereka tiba di Auschwitz. Setelah perjalanan "setengah mati" dari Hungaria, tempat kelahirannya.

Eliezer, atau Elie Weisel, selamat dari kematian setelah pasukan AS dan sekutunya berhasil menguasai kamp Buchenwald, tempatnya disekap oleh Nazi. Selamat dari pembantaian Nazi, Elie Weisel kemudian memilih menjadi warga negara Prancis.

Aku mengenal lebih dalam Elie Weisel tahun 1991. Juga di toko buku Gramedia Jakarta, pada suatu hari yang aku lupa tanggalnya, lewat "Fajar" (L'Aube), novel sekuel "Malam". 

Dalam "Fajar", Elie Weisel hadir sebagai Elisha, tokoh teroris muda, 17 tahun, yang anti-kolialisme Inggris di Palestina. Oleh atasannya, dia ditugaskan menjadi algojo untuk John Dawson, seorang kapten Inggris yang disandera kelompoknya. John Dawson harus dibunuh sebagai "nyawa ganti nyawa" untuk David bin Mosye, tokoh teroris yang dihukum mati oleh Inggris.

Elisha harus membunuh John Dawson demi kebencian kepada Inggris. Dan dia harus mengenal lebih baik John Dawson, agar bisa membencinya dengan lebih baik. Kebencian yang hanya mungkin dimiliki manusia. Sebab Tuhan tak memilikinya.

Maka dengan kesadaran penuh, Elisha akhirnya berhasil menjadi algojo bagi John Dawson. Sama lakonnya dengan algojo Nazi yang telah membinasakan ayah, ibu, dan adik- adiknya.

Elie Weisel menggambarkan eksekusi John Dawson oleh Elisha dengan cara yang meneror kesadaran imani. John Dawson memanggil namanya, "Elisha", pada hembusan nafas terakhir, setelah peluru menembus jatungnya. "Elisha", artinya "Tuhan mendengar". Tapi Tuhan tak mendengar, Elisha tetap menembak mati John Dawson. Sama seperti dulu, Tuhan tidak menolong, ketika ayahnya menyerukan "Eliezer".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline