Lihat ke Halaman Asli

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 18)

Diperbarui: 20 Juli 2018   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

KISAH HAKIM BAO DAN PARA PENDEKAR PENEGAK KEADILAN

BAGIAN 18 –  KAISAR RENZONG BERTEMU IBU KANDUNGNYA DAN DIAM-DIAM MENITAHKAN BAO MENGADILI GUO HUAI

Dengan menunggang kuda Bao Xing mengawal ibu suri sampai ke Istana Nanqing. Hari ini berbeda dengan kemarin; kebanyakan dipenuhi oleh tandu dengan pengawalan ketat. Mereka semua adalah para selir, putri kerajaan, dan para istri pejabat tinggi yang berdatangan tiada hentinya. Bao Xing yang mengetahui tata krama terlebih dahulu menuju pintu depan kediaman pangeran lalu turun dari kudanya, mengikat kuda tersebut, dan berjalan menuju pintu gerbang. Kebetulan ia melihat si botak Wang San di sana. Segera ia melambaikan tangannya dan maju ke depan sambil berkata, "Tuan Ketiga, Nyonya Besar kami telah tiba."

Wang segera masuk ke dalam. Tak lama kemudian tampak dari dalam keluarlah dua orang pengurus istana yang kemudian berkata kepada semua orang, "Memberitahukan kepada Tuan-Tuan semua: Yang Mulia Putri Di memerintahkan bahwa semua pengawal yang lelah karena perjalanan boleh pulang dan hanya mempersilakan Nyonya Besar Bao dari kantor prefektur Kaifeng untuk bertemu dengan beliau." Semua orang berulang kali mengiyakan. Bao Xing pun segera menyuruh para pengangkut tandu mengangkat tandu menuju pintu istana dan meminta dua orang pengurus tersebut masuk ke dalam memberitahukan hal ini kepada Putri Di. Setelah itu Wang keluar mengundang Bao Xing menuju ruang baca untuk minum teh. Hari ini Wang tampak lebih ramah daripada kemarin.

Tandu ibu suri dibawa sampai ke pintu kedua. Tampak empat orang kasim istana keluar, mengangkat tandu itu menggantikan para pengangkut tandu, dan membawanya menuju pintu ketiga. Setelah melewati pintu samping, barulah mereka meninggalkan tandu tersebut. Kemudian Pengurus Ning datang ke depan tandu, mengangkat tirai tandu, dan berkata, "Semoga Nyonya Besar sehat selalu." Ia segera melepaskan sandaran lengan lalu menyuruh pelayan wanita datang membantu ibu suri turun dari tandu. Ketika melihat Ning, ibu suri menyapanya, "Apa kabar, Paman?" Ning di depan menuntun jalan ke dalam istana.

Putri Di telah berada di luar pintu untuk menyambut ibu suri. Ketika ia melihat Nyonya Besar Bao dari jauh, ia merasa sangat terkejut karena wajah sang nyonya terlihat familiar, tetapi ia tidak dapat mengingatnya. Ibu suri datang ke hadapan Putri Di dan bermaksud memberikan penghormatan, tetapi sang putri mencegahnya dan berkata, "Anda tidak perlu memberikan penghormatan." Ibu suri juga tidak dengan rendah hati menolakya. Mereka berpegangan tangan satu sama lain dan bersama-sama mengambil tempat duduk.

Ibu suri melihat wajah Putri Di yang sudah banyak menua dibandingkan waktu itu. Ketika Putri Di duduk berhadapan dengan ibu suri dan melihat wajahnya, tiba-tiba ia teringat wajah ibu suri mirip dengan Selir Li yang telah diperintahkan kaisar terdahulu untuk bunuh diri. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya bahwa Nyonya Besar Bao adalah ibu kandung kaisar yang sekarang, walaupun dalam hati ia merasa tidak tenang.

Setelah teh disajikan, mereka berdua berbincang-bincang. Pembicaraan mereka mengalir lancar bagaikan air; pembawaan ibu suri yang mudah bergaul benar-benar membuat semua orang menyukainya, termasuk Putri Di yang merasa cocok dengan ibu suri. Ia pun meminta ibu suri untuk tinggal di istana beberapa hari. Permintaan ini sesuai dengan keinginan ibu suri yang kemudian langsung menyetujuinya. Kemudian Putri Di memanggil pengurus rumahnya dan memerintahkan, "Beritahukan para pengangkut tandu dan yang lainnya tidak perlu menunggu; aku mengundang Nyonya Besar Bao untuk tinggal di sini beberapa hari. Berikan hadiah kepada para petugas itu sesuai dengan kebiasaan."

Saat ini perjamuan telah disediakan. Putri Di bermaksud untuk duduk di sebelah ibu suri agar lebih mudah berbincang-bincang dengannya. Ibu suri juga hanya menyetujui, sehingga tampak lugas dan santun. Putri Di sangat senang dengan pembawaan ibu suri ini. Ketika mereka minum arak, Putri Di sangat memuji kesetiaan, kejujuran, dan keluhuran Bao dengan berkata, "Ini semua berkat didikan moral Nyonya Besar." Ibu suri sedikit merendahkan dirinya menolak pujian itu. Putri Di juga menanyakan usia ibu suri; ibu suri menjawab, "Empat puluh dua tahun." "Berapakah usia putra anda Tuan Bao?" tanya Putri Di lagi.

Pertanyaan ini membuat ibu suri terdiam; seketika wajahnya tampak memerah dan ia tampak gugup serta tidak dapat menjawabnya. Melihat situasi ini, Putri Di tidak berani bertanya lebih lanjut, melainkan berpura-pura pergi memanaskan arak yang sudah dingin. Namun ibu suri juga tidak ingin minum arak lagi. Setelah selesai makan, mereka berdua duduk santai sambil berbincang-bincang. Kemudian Putri Di menemani ibu suri berkeliling ke setiap tempat di istana tersebut untuk menikmati pemandangan. Semakin Putri Di mengamati ibu suri semakin ia merasa Nyonya Besar Bao tersebut mirip dengan Selir Li yang telah meninggal; dalam hati ia merasa curiga.

"Baru saja aku bertanya kepadanya usia putranya, bagaimana mungkin ia tidak bisa menjawabnya? Seketika wajahnya memerah dan ia menjadi gugup! Di dunia ini bagaimana mungkin ada seorang ibu yang tidak mengingat usia putranya sendiri? Ini benar-benar mencurigakan. Mungkinkah ia ingin menipuku? Baiklah, aku sendiri telah memintanya tinggal di sini. Malam ini aku akan memintanya tidur bersamaku untuk menjalin keakraban, tetapi diam-diam aku akan menyelidiki tentang hal ini," pikir Putri Di. Setelah berpikir demikian, ia terus mengamati ibu suri. Ia melihat perilaku dan gerak-gerik Nyonya Besar Bao semakin lama semakin tak diragukan lagi adalah Selir Li. Namun dalam hati ia sama sekali tidak dapat memutuskan hal ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline