Lihat ke Halaman Asli

Mozzarella Najwa

Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saudara yang Dipertanyakan: Cerita Muslim Tionghoa dan Islam Lokal di Tengah Luka Keragaman

Diperbarui: 23 Juli 2025   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid Muhammad Cheng Hoo.  (FOTO: Merah Putih) 

Indonesia sering dibanggakan sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia. Tapi di balik angka itu, masih banyak umat Islam yang justru merasa dipertanyakan keislamannya hanya karena berbeda wajah, budaya, atau cara beribadah.

Di sebuah masjid bergaya arsitektur Tionghoa di Surabaya, suasana tenang menyambut setiap jamaah yang datang. Masjid Muhammad Cheng Hoo berdiri megah dengan atap melengkung merah dan ukiran khas Tiongkok. Bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga lambang keberagaman wajah Islam di Indonesia.

Masjid ini menjadi rumah bagi banyak Muslim Tionghoa, termasuk para pengurus PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) yang aktif memperjuangkan penerimaan dan pemahaman masyarakat terhadap keislaman warga keturunan Tionghoa. Dalam sebuah wawancara yang dikutip dari artikel jurnal akademik, Abah Djoko, ketua PITI Surabaya, menyampaikan bagaimana identitas Muslim Tionghoa kerap dianggap asing, bahkan di kalangan sesama Muslim.

Ia menggambarkan reaksi umum masyarakat saat melihat seorang Tionghoa masuk masjid dan menunaikan sholat: “Biasanya tiga hal muncul: kaget, penasaran, dan tidak percaya.” Pernyataan ini, meski terdengar sederhana, mencerminkan betapa identitas keislaman masih dilihat secara sempit, seolah-olah hanya sah jika datang dari etnis tertentu.

Tak hanya Muslim Tionghoa yang menghadapi stigma. Di Lombok Utara, komunitas Wetu Telu yang mempraktikkan Islam dalam tradisi lokal juga sering mendapat label menyimpang. Mereka menjalankan sholat tiga waktu berdasarkan penafsiran ayat tertentu dalam Al-Qur’an, serta memadukan ajaran Islam dengan adat nenek moyang. Bagi sebagian kalangan luar, hal ini dianggap tidak sesuai dengan “Islam yang benar”. Namun, sebagaimana dicatat dalam prosiding akademik Universitas Mataram, Wetu Telu tetap berpegang teguh pada tauhid dan nilai-nilai keislaman, meski dalam wujud budaya yang berbeda.

Menelusuri Jejak dan Identitas Muslim Tionghoa di Indonesia

Muslim Tionghoa di Indonesia punya jejak panjang yang sering terlupakan dalam sejarah Islam Nusantara. Salah satu tokoh paling terkenal adalah Laksamana Cheng Hoo, pelaut Muslim asal Tiongkok yang menyebarkan ajaran Islam ke berbagai pelabuhan di Asia Tenggara pada abad ke-15. Sayangnya, kisah kontribusi mereka dari jalur maritim hingga hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit, jarang muncul dalam buku sejarah besar.

Pada era Orde Baru, identitas Tionghoa ditekan habis-habisan. Banyak di antara mereka yang sudah lama memeluk Islam tetap dicurigai, dipandang sebagai “asing” meski nama dan keyakinan mereka sama seperti umat Muslim lain. Dari kondisi inilah lahir Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada 1961, sebuah rumah bagi mualaf Tionghoa untuk memperkuat peran mereka sebagai Muslim dan warga negara.

Di bawah tekanan pemerintah, PITI sempat tidak diakui dan anggotanya menghadapi banyak kesulitan. Namun mereka tak menyerah. Saat reformasi membuka ruang kebebasan beragama, PITI bangkit kembali. Tak hanya sebagai komunitas internal, tetapi juga jembatan bagi Muslim Tionghoa untuk berinteraksi dengan masyarakat luas. Salah satu bukti nyatanya adalah Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya. Dengan atap melengkung, lampu merah, dan ornamen naga, masjid ini mengingatkan kita bahwa Islam mampu berbaur dengan budaya apa pun, selama tetap berpusat pada tauhid.

Tentang Wetu Telu

Wetu Telu adalah cara berislam yang tumbuh dari akar tradisi masyarakat Bayan, Lombok. Banyak orang luar kerap salah paham dan mengira Wetu Telu berarti sholat tiga waktu, lalu buru-buru menilainya menyimpang. Padahal, makna Wetu Telu lebih dalam dari sekadar jumlah sholat. Wetu berarti “lahir” atau “keluar”, dan telu berarti “tiga”, sebuah simbol sakral yang merepresentasikan siklus kehidupan: tumbuh, bertelur, dan melahirkan.

Dalam praktiknya, masyarakat Wetu Telu tetap menjalankan sholat lima waktu, namun berdasarkan tiga waktu utama yang juga dijelaskan dalam Surah Al-Isra’ ayat 78: saat matahari tergelincir (mencakup Zuhur dan Asar), malam hari (Maghrib dan Isya), serta menjelang fajar (Subuh). Jadi, bukan mereka meninggalkan sholat, melainkan menjalankan ajaran dengan pembacaan waktu yang berbeda.

Kesalahpahaman sering kali muncul dari tafsir luar yang terburu-buru dan melihat perbedaan sebagai penyimpangan. Padahal, banyak dari tradisi mereka yang dianggap “aneh” atau “tidak islami” justru adalah wujud kecintaan terhadap Islam yang diwariskan secara turun-temurun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline