Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Budayawan Punya Imunitas?

Diperbarui: 4 April 2018   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertanyan ini, rasa serius. Mumpung negeri ini, lagi demam imunitas, dan bahkan banyak orang yang sedang latah untuk mencari imunitas. Kita pun hari ini, bermaksud untuk mewacanakan tema ini.  Benarkah budayawan memiliki imunitas ?

Masalah ini, perlu dikemukakan seiring dengan ragam komentar yang mencuat terkait dengan puisi Sukmawati.

Sukmawati sendiri berujar :

"Lho Itu suatu realita, ini tentang Indonesia. Saya ga ada SARA-nya. Di  dalam puisi itu, saya mengarang cerita. Mengarang puisi itu seperti  mengarang cerita. Saya budayawati, saya menyelami bagaimana pikiran dari  rakyat di beberapa daerah yang memang tidak mengerti syariat Islam  seperti di Indonesia Timur, di Bali dan daerah lain," kata Sukmawati  ketika dikonfirmasi, Senin (2/4/2018). (sumber)

Tanggapan itu, atau klarifikasi itu, seolah memberikan penguatan terhadap sikapnya, untuk bisa dimaklumi dan dihargai atas karya sastranya, dengan isi sebagaimana yang tertuang dalam puisinya  tersebut.  Tanggapan serupa, dapat kita kutip juga pandangan dari politisi NasDem, juga berpendapat : 

"Saya waktu membaca sajaknya, melihat ini  seorang seniman yang mengekspresikan seni-seninya. Itu merupakan  manifestasi perasaannya," kata Johnny saat ditemui di DPP Nasdem,  Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (3/4). (sumber)

Dengan dua contoh pandangan itu, pertanyaan mengenai imunitas dari budayawan untuk mengekspresikan pikiran dan hasil perenungannya menjadi relevan untuk dikedepankan.  Sekali lagi, apakah karena alasan itu jugalah, kemudian seseorang dibolehkan untuk melontarkan yang 'potensial' menilai kelompok yang lain, atau budaya yang lain ?

Untuk sekedar pembanding, Howard Gardner, menilai bahwa pola pikir yang perlu dikembangkan di masa kini dan masa depan, yaitu the ethical mind, yaitu nalar peka, peduli pada sesama, sebagai satu warga, yaitu warga dunia. Gagasan inilah, yang kemudian dapat kita maknai dengan istilah ramah. Artinya tidak imun dan tidak boleh abai terhadap lingkungan. Impelementasinya yaitu muncullah konsep Industri ramah lingkungan, ekonomi ramah lingkungan dan lain sebagainya. Dengan hal ini pulalah, mungkinkah kita mengembangkan kehidupan yang ramah lingkungan dan ramah budaya.

Merujuk pada pemikiran ini, masihkah ada ruang untuk membela diri, karena saya adalah budayawan, maka saya gak ada SARA-nya !




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline