Lihat ke Halaman Asli

Yamin Mohamad

TERVERIFIKASI

Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Dibutuhkan Satu Desa untuk Mendidik Seorang Anak

Diperbarui: 23 Agustus 2023   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sinergitas guru dan orang tua (Sumber: laman Gerakan Sekolah Menyenangkan)

Saat pulang dari masjid usai shalat isya beberapa malam sebelumnya, saya menerima sebuah pesan WA via jalur pribadi dari nomor salah seorang siswa. Pesan itu dikirim oleh ibunya untuk menyampaikan dua hal. 

Pesan pertama, permohonan izin untuk anaknya yang tidak dapat masuk sekolah. Alasannya ada acara haul atas neneknya yang meninggal. Tempat acaranya di luar kecamatan yang cukup jauh dari sekolah sehingga mereka harus menginap. Mereka tidak dapat pulang sebelum acara selesai.

Pesan berikutnya semacam masukan kepada saya untuk menegur salah seorang siswa yang mengirimkan komentar kasar di grup WAG kelas. Sebagai bukti dia menyertakan screenshot komentar tersebut.

Saya terkejut karena benar-benar tidak tahu tentang hal itu. Sepengetahuan saya pesan dan komentar anak-anak di grup tersebut hanya berupa candaan versi bocah. Selebihnya, semacam baku ledek dalam batas yang wajar. 

Obrolan itu memang sangat banyak. Setiap pesan rata-rata singkat, terdiri dari 1-3 kata saja tetapi intensitasnya ramai padahal isi anggotanya hanya belasan orang. Padatnya obrolan membuat celetukan kasar itu terlewatkan. Saya tidak sempat membacanya.

Saya scroll pesan ke atas untuk memastikan informasinya. Ternyata benar, salah seorang siswa menuliskan kata-kata umpatan. Mungkin maksudnya bercanda tetapi menyebut nama hewan kepada temannya tentu bukan sesuatu yang dapat digunakan sebagai pilihan kata untuk sebuah lelucon.

Setelah memastikan bahwa memang ada siswa berkomentar kasar, saya membalas saran wali murid itu dengan berjanji akan menindaklanjuti saran tersebut. Saya juga menyampaikan permintaan maaf karena telah teledor mengontrol anak-anak itu.

Dengan sedikit pembelaan diri saya sampaikan bahwa bisa jadi kata-kata kasar itu biasa didengar oleh siswa yang bersangkutan di rumah atau di lingkungan sekitar rumahnya. 

Saat itu juga saya kemudian mengingatkan melalui WAG kepada siswa yang bersangkutan dan semua siswa untuk tidak mengulanginya. Beberapa saat setelah peringatan itu, siswa yang berkomentar kasar itu membalas peringatan saya dengan permintaan maaf. Dia juga meminta maaf kepada teman-temannya dalam grup dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Membaca permintaan maaf anak itu, saya membayangkan wajah memelas penuh penyesalan dari seorang bocah. Wajah itu seolah menunduk malu dan merasa bersalah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline