Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Syafei

TERVERIFIKASI

Menerobos Masa Depan

Sepotong Dialog di Makam Pahlawan

Diperbarui: 12 Agustus 2017   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok pribadi

Pagi masih begitu bening.  Seperti pagi-pagi yang lain, kami selalu duduk duduk di serambi kuburan kami masing-masing.  Kadang-kadang ngopi seadanya.  Sambil ngobrol ngalor ngidul sesuai perasaan hati.  Kadang soal politik, kadang soal sepele seperti kebiasaan lele yang suka makan apa saja.

Dan kami menikmatinya bersama.

"Bung, apa kita sudah meninggalkan sikap patriotisme kita pada anak cucu kita di atas sana?" tanya seorang teman yang tertembak waktu menyerbu benteng Jepang hendak merampas senjata-senjata Jepang.

"Itulah, Bung.  Kita terlalu asyik perang.  Kita lupa menumbuhkan sikap patriotisme pada anak cucu kita," keluh temannya yang meninggal lebih dulu saat sebelum Jepang menguasai negeri ini.

"Saya dulu tidak seperti kalian," kata seorang kakek yang ternyata kakek mereka yang meninggal zaman perang Diponegoro.  Kakek itu pengikut paling berani dari pasukan Diponegoro menghadapi Belanda.  Dan di dadanya memang masih ada tanda bekas tembakan.

"Aku sendiri suka malu di kubur di sini," kata laki laki gagah itu.

"Emang kenapa?"

"Saya ini bukan pahlawan.  Aku ketembak waktu nyerbur markas Jepang.  Tapi waktu itu tujuanku cuma mau nyari emas yang suka dipakai orang Jepang," keluh laki laki gagah itu.

"Sebetulnya, niat saya juga tidak murni berjuang," kata laki-laki yang tertembak Jepang.

"Jangan bicara itulah, aku malu juga," tambah laki-laki yang tertembak Belanda.

"Itulah yang disebut siksa kubur.  Kalian pasti merasa risih karena kalian telah dipaksa untuk menerima gelar pahlawan," kata Kakek pengikut Diponegoro.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline