Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Sungai Waktu

Diperbarui: 18 Mei 2020   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilsutrasi: i.pinimg.com

Bahwa semesta bukanlah fakta statis yang tergelimpang dalam hampa, tapi suatu struktur peristiwa yang terus menerus mengalir. Kita tidak dapat melihat untuk kedua kalinya ke sungai yang sama. Jika itu terjadi maka kita dan sungai -keduanya- telah berubah. Sungai ke muara dan kita menua.

Sungai adalah perwakilan klise atas waktu. Kita dihanyutkan di sungai itu. Kita datang dari Tuhan, tanpa papan pengumuman akan berakhir di mana. Sungai ini di mana ujungnya. Ruh Tuhan ditiupkan kepada kita, dari sisi terdalam kita ada kerinduan untuk kembali. Kadang-kadang dan terlalu sering, hedonisme mengalihkan pembicaraan tentang jalan pulang itu.

Aku telah mencampakkan tanda tanya ke keranjang sampah. Di sajadahku, seluruh tetes wudhukku adalah tanda seru. Aku telah berhenti menggali waktu, dan menguburkan mengapaku. Di pintu kemana aku akan pergi, di jalan kemana aku akan pulang, aku sedang menambal lubang-lubang dengan sisa kerikil doa. ___ Tebing Waktu (Rida K Liamsi) dalam buku puisi Sungai Rindu (Sagang, 2020).

Rida melakukan percakapan batin yang penuh. Suatu dialektika sufisme tentang pendakian Tuhan, dan memulai ketundukan atas waktu.

Bagi Heidegger, waktu adalah horizon manusia, ia terlempar di dunia (Dasein). Kita dapat melihat waktu tidak terlempar begitu saja. Waktu adalah subjektifitas dengan tanda tanya. Manusia membangun sejarahnya sendiri-sendiri dari benturan-benturan eksistensial menuju tebing waktu.

Agustinus mencoba membagi waktu menjadi objektif dan subjektif. Artinya ada waktu mandiri di luar manusia. Hal ini dibantah Immanuel Kant, karena cepat atau lambat adalah soal persepsi individu.

Carlo Rovelli, seorang fisikawan teoretis asal Italia menyebut waktu sebagai ilusi. Tidak ada variabel tunggal yang mampu menggambarkan jalannya waktu. Konsep mengenai lalu, depan, dan kini hanyalah persepsi yang muncul dari pengalaman manusia ketika berinteraksi dengan sekitarnya.

Cara pandang subjektif kita akan jalannya waktu tidak serta merta dapat disamakan dengan dunia fisik sesungguhnya. Einstein telah menyebut ini sebagai delusi optik.

Dalam surat Al-Kahfi (18): 19 dinyatakan: Dan berkata salah seorang dari mereka, "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari ..."

Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang, Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari." (QS Al-Kahf (18): 19).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline