Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Natsir Tahar

TERVERIFIKASI

Writerpreneur Indonesia

Alexander di Tanah Melayu

Diperbarui: 12 Desember 2018   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alexander The Great. Sumber foto: getyourimage.club.com

 

Iskandar Zulkarnain atau mungkin Alexander Agung (356 SM -323 SM) dari Macedonia, yang dimitologikan sebagai leluhur raja-raja di tanah Melayu dan Minangkabau mestinya menjadi seorang filsuf. Sebagian masa kecilnya dihabiskan untuk berguru kepada Aristoteles, tapi gagasan-gagasan filsafat yang ia dapat tak menghentikan hasratnya sebagai raja penakluk seluruh jazirah.

Raja Macedonia atau Muqaduniah dalam kronik Melayu ingin memperluas kekuasaannya hingga ke negeri matahari terbit. Jejak-jejak taklukannya terlihat di sebentang jazirah Eropa, Asia dan Afrika, yang berpusat di Alexandria atau Iskandariah, Mesir.

Zulkarnain menjadi kontradiksi sepanjang peradaban, di antara teks-teks dalam Islam dan sosok Alexander The Great yang dibicarakan di Barat, terutama soal agama yang dianut Zulkarnain. Tapi dunia seolah tidak peduli, melihat asal usul dan jejak penaklukannya mengarahkan keduanya sebagai orang yang sama.

Sebagai pembeda, saya mengutip Ibnu Katsir yang menyebut bahwa Zul Qarnain atau Zulkarnain hidup di masa Nabi Ibrahim, 2.000 tahun sebelum masa Alexander Agung orang Macedonia, Yunani. Ibnu Katsir juga menuliskan dalam Kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah, bahwa Nabi Khidr adalah menterinya dan mengunjungi Mekah dengan berjalan kaki. Ketika Ibrahim mengetahui kedatangannya, maka ia keluar dari Mekah untuk menyambutnya.

Selebihnya Zulkarnain mirip Iskandar atau Alexander yang mendirikan Iskandariah, atau Alexandria di Mesir. Alexandria kala itu menjadi pusat peradaban dunia, sebagai kota termegah setelah Roma. Penggabungan keduanya menjadi Iskandar Zulkarnain, seolah semacam sintesis agar upaya glorifikasi tidak menajamkan kontradiksi itu.

Namun pengaruh penaklukan Alexander membuat kehidupan filsafat redup selama 300 tahun, dan urusan bernegara digantikan oleh politik, yang menjadi awal mula kekacauan di sana sini. Kehidupan sebagian masyarakat dunia di bawah taklukan Alexander (untuk tidak menyebut Zulkarnain) memunculkan zaman Helenisme, yakni sebuah paham hegemonik ketika orang di dunia berbicara, berkelakuan dan hidup seperti Yunani.

Trauma dunia atas sejarah penaklukan menyebabkan melambatnya sejarah pemikiran. Filsafat terpencilkan di menara gading dan di sudut-sudut pertapaan segelintir orang. Ketika itu muncul paham Neoplatonisme dan Stoikisme, namun tak memberi perubahan. Stoikisme dengan dalil bahwa takdir telah diatur, mendorong sikap fatalistik di tengah masyarakat.

Rakyat yang terhegemoni maupun pemimpin -akibat kekosongan filsafat dan agama- berbicara dan bertindak dalam konteks otak Reptil. Sebagai otak tertua manusia yang bereaksi terhadap konflik dengan cara agresif atau melarikan diri. Sejarah penaklukan menggunakan cara pertama, dalam geopolitik teritorial ia menjadi sempurna dengan salah satu landasan dasar reptil yakni mementingkan diri sendiri terutama tubuh (somatic or survival) bagi kekuasaan.

Kita langsung melompat ke abad pertengahan -melampaui masa 1.000 tahun- disebut juga abad kegelapan di Eropa. Abad ini adalah pengantara zaman Helenisme dan Renaisans. Kehidupan di Eropa kala itu berjalan datar, kecuali di Andalusia (Spanyol) ketika ia menjadi pusat pikiran dunia dari Ibnu Rusyd atau Averros (1126 -1198) yang didahului oleh ilmuan dan filsuf Muslim seperti Al Farabi (870-950) dari Turki, kemudian dari Persia seperti Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037), dan Al Ghazali  atau Algazel (1058-1111).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline