Ibu. Dalam diam doa-doa kupanjatkan. Kepadamu, Ibu. Tak pernah sedetik pun melupakan semua jasa jasamu.
Ibu. Masih teringat dalam benak. Sewaktu kecil, aku digendong manja. Diayun ayunlah badan mungil ini di sepanjang jarik yang melingkar di lehermu. Tembang jawa dinyanyikan lirih sebagai pengantar tidur. Dan solawat pengiringnya.
Ibu. Dalam gendonganmu waktu itu, kini masih kuingat. Hangat terasa dipelukan. Dekapan erat tanganmu begitu nyaman. Ada dalam sentuhanmu, hilang sudah lelahku. Bermain tanah dan lumpur, berlarian, bermain petak umpet, lelah pun kubawa pulang. Mengadu untuk bisa mengambil perhatianmu.
Ibu. Sungguh masa kecilku bahagia. Masa-masa kanak-kanak yang luar biasa. Tak bisa dilupakan begitu saja. Kenakalanku, kejahilanku, yang ketika itu mampu membuatmu marah tapi sekejap kemudian dipeluk olehmu kembali. Amarahnya tak bisa lebih lama dari sekelebat kilat halilintar. Sungguh, aku merasa dicintai. Sesaat saja kesalahan itu sirna. Anginlah yang membawanya pergi. Betapa senang dan bahagianya menjadi anakmu.
Dalam gendonganmu, Ibu, kini masih merasakan. Dekapan setulus matahari yang terbit di pagi hari. Sampai detik ini, masih membekas peluk hangatmu, Ibu.
Cathaleya Soffa
Legoso, 5 Oktober 2017