Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi: Neraca

Diperbarui: 6 Mei 2020   04:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Setidaknya, kalaupun hujan ini tak mau berhenti, meski hanya sebentar agar kau bisa menyusut airmatamu, suara berjatuhannya tak lagi menabuh pilu.

Masa lalu adalah sejarah. Sebagian orang malah menganggapnya sebagai catatan yang mesti punah. Ruang yang disediakan benak untuk mengarsipkan masa lalu, sebagian besarnya adalah ruang kelu. Jadi untuk apa mengerahkan ingatan dan menumpahkan tangisan. Demi sesuatu yang pasti membuat sebuah cermin berantakan.

Bisa saja cahaya purnama yang tak lama akan tiba. Terjebak dalam perangkap mendung yang lebih hitam dari malam. Tapi almanak di mejamu. Tetap bercerita bahwa kemarin telah berlalu, hari ini masih dipandu, dan esok mungkin sedang menyamak wangi kembang sepatu.

Aku berharap kau bisa melihat keping-keping dinihari berjatuhan laksana mutiara hati, dan bukan seperti sisi bilah belati. Pada setiap keheningannya, ketika orang-orang bersukacita menyantap hidangan yang telah dihangatkan, kau masih mampu menerjemahkan arti kerinduan.

Kata yang dulu sengaja diciptakan. Agar kamus kosakata tidak hanya berisi frasa-frasa duka.

Sebab dunia ini adalah neraca. Yang akan selalu mencari sendiri letak keseimbangannya.

Bogor, 6 Mei 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline