Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Menulis Obituari

Diperbarui: 3 November 2019   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Tempias masa silam, dibawa anak-anak hujan yang datang kemalaman. Menjerit dan berloncatan di bebatuan, rerumputan, dan aspal jalanan. Meneriakkan nama-nama yang bisa diingatnya. Atau bahkan tempat-tempat yang dulu pernah dilaluinya.

Ini bukan sekadar cerita tentang ritme dansa atau geliat romansa. Hujan sesungguhnya memang penari, juga kekasih yang tak pernah patah hati. Melakukan perjalanan diam-diam. Lalu tiba dengan membawakan riuh rendah pertunjukan.

Tentang musim berbunga dan hati yang diliputi banyak rencana. Menjadikan detik-detik yang merambat, mengemudikan waktu secara cepat. Melalui angka demi angka. Menjumpai sekian peristiwa. Lalu menerima takdir datang bertamu. Tanpa sedikitpun menggerutu.

Hujan, adalah bagian terbaik dari segmen kewarasan. Karena sudah terlalu berlimpah fragmen kegilaan. Di sekitar kita. Atau di dunia yang dalam sekejap saja berhasil dikuasai linimasa.

Kita patuh dan bersimpuh. Menjadi budak yang dibayar dengan harapan. Lantas kemudian membelanjakannya habis-habisan. Memasaknya sebagai sarapan dan makan malam. Sampai perut kita nyaris meletus. Melahap semua hal yang dianggap sebagai kultus.

Kita mestinya berlarian di tengah-tengah hujan deras. Agar semua kericuhan habis dibilas. Dan esok pagi kita bisa memulai semuanya kembali. Bukannya malah rajin menuliskan obituari.

Bogor, 3 Nopember 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline