Cukup lama aku berdiam diri. Tidak menuliskan kata-kata bersayap, berbunga maupun berduri. Itu karena aku sedang berdamai dengan senyap, air dan matahari. Ini prakata dariku untuk memulai rangkaian panjang surat ini kembali.
Aku sedang berada di depan angin yang bergelombang tipis. Membawa wangi aneh bunga pinus hingga ke dasar lembah. Aku sedikit terheran-heran karena wanginya menusuk hati. Mungkin karena aku berharap yang datang adalah wangi musim kopi.
Tapi tak apa. Kau tentu paham seperti apa wangi bunga pinus yang pernah menoreh kenanganmu pada sebuah bukit kecil di Sukabumi. Bukit yang dikerumuni agathis dan merkusii. Tempat kau mengadukan cintamu yang belum ketemu. Tempat kau menghitung anakan meranti yang tersesat jauh hingga kesini. Juga sebuah tempat dimana kau berusaha keras tidak menggigil ketika dijatuhi pagi.
Sampit, 24 Januari 2018