Setiap kita mungkin pernah mendengarkan suatu ungkapan yaitu "sekolahlah agar menjadi manusia", kalau dalam kebudayaan saya (Mandar) orang-orang tua sering mengatakan "passikolao anna' mala menjari tau", hal inipun yang diungkapkan oleh orangtua saya, ketika saya hendak kuliah ke Jakarta 10 tahun yang lalu. Ungkapan ini selalu terbayang dalam pikiran saya, tentang apa maksud dari menjari tau/ menjadi manusia? bahkan setelah saya lulus kuliah 5 tahun yang lalu, saya belum bisa memastikan apakah saya sudah layak dikatakan manusia atau tidak.
Hidup adalah proses belajar untuk terus membentuk diri kita menjadi pribadi yang lebih baik, karena setiap manusia tentu menginginkan perlakuan baik dari orang lain terhadap dirinya, begitupun dengan orang lain yang juga ingin diperlakukan dengan baik. Satu-satunya jalan untuk membentuk karakter yang baik adalah dengan berpendidikan. Tentu saja berpendidikan tidak melulu dimaknai dengan bersekolah tinggi, karena pendidikan adalah tentang proses belajar dan belajar bisa saja dilakukan di mana pun. Salah satu konsekuensi menjadi manusia adalah belajar sepanjang hayat, karena manusia dalam melewati berbagai proses atau tahapan hidupnya penuh dengan tanda tanya, tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi perjalanan hidup ini, serta jalan apa yang harus kita tempuh untuk meraih kebahagiaan.
Secara umum pendidikan dimaknai sebagai proses mentransfer pengetahuan, proses memperlajari berbagai keterampilan, serta proses pembentukan karakter. Namun, belakangan ini ada banyak kasus dari orang-orang yang memiliki sederet gelar serta jabatan tinggi, tetapi tidak mencerminkan diri sebagai orang yang berpendidikan, seperti misalnya kekerasan dalam rumah tangga (KDR), perselingkuhan, pelecehan, kekerasan seksual, membunuh, korupsi, dll. Mereka bisa jadi memiliki banyak pengetahuan, serta memiliki keterampilan, tetapi mereka tidak memiliki karakter yang baik. Padahal, sejatinya karakter yang baiklah yang menentukan seseorang layak disebut sebagai manusia.
Berbicara tentang pendidikan karakter, aspek gender adalah salah satu hal penting yang kerap kali terlupakan. Mengapa demikian? karena konstruksi gender dalam sosial kebudayaan sudah dianggap sebagai sesuatu yang benar dan tidak dapat diganggu gugat, dikarenakan hal ini sudah mengakar kuat dan menjadi kebiasaan umum masyarakat, sehingga membutuhkan penaralaran yang dalam untuk mendeteksi berbagai bentuk kerancuan dalam berelasi. Beberapa di antara kita mungkin kerap melihat aktivis-aktivis berteriak untuk menggugat berbagai bentuk relasi kuasa yang menghegemoni masyarakat miskin, tetapi di balik itu semua kita pun tidak menyadari bahwa relasi kuasa itu sendiri mengakar kuat dalam rumah kita.
Relasi kuasa yang dimaksud dalam lingkup rumah tangga yaitu adanya hegemoni dari suatu ideologi "Budaya Patriarki" yang diamini oleh laki-laki bahkan perempuan. Keduanya adalah korban dari generasi ke generasi. Namun, perempuanlah yang sangat merasakan dampak dari hegemoni tersebut, karena budaya patriarki ini menempatkan perempuan pada tempat terendah, yang sekadar menganggap perempuan berfungsi sebatas pekerja dalam rumah tangga, seperti membersihkan dan mengurus anak. Persepsi seperti ini sangat berbahaya karena menimbulkan berbagai tindakan negatif lainnya, seperti perempuan tidak harus sekolah, perempuan harus bisa masak, laki-laki tidak, perempuan yang harus membersihkan seluruh isi rumah laki-laki tidak, sehingga perempuan terkadang menghabiskan waktunya hanya untuk membersihkan rumah dan tidak memiliki banyak waktu untuk mengupgrade pengetahuan serta skillya. Padahal setiap manusia baik perempuan ataupun laki-laki seharusnya mampu mengerjakan hal-hal dasar seperti itu, untuk membentuk pribadi yang bertanggung jawab, peduli terhadap lingkungan, memiliki rasa empati, membentuk kedisiplinan, melatih kepekaan, serta membentuk relasi yang sehat.
Rumah tangga yang menerapkan pendidikan gender yang sehat akan mampu membentuk generasi yang baik, dan hal ini menjadi dasar interaksi yang baik dalam lingkup sosial, serta anak laki-laki dan perempuan mampu bekerjasama dengan baik dan membangun keakraban yang saling menghargai satu sama lain, karena memiliki tugas yang sama untuk peka terhadap hal-hal mendasar dalam rumah, karena sejauh ini hanya perempuanlah yang memiliki tugas untuk peka terhadap lingkungan, padahal ini menjadi tugas setiap manusia, apalagi jika berbicara soal kebersihan adalah bagian dari keimanan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI