Lihat ke Halaman Asli

True Story: Ditampar Akhwat

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu  ketika hiruk-pikuk manusia pencari kehormatan intelektual mulai berhamburan keluar untuk sekedar melemaskan otot-otot di kepala, dan menghentikan aktfitas sel-sel syaraf yang sejak pagi dipergunakan dengan sporadis.

Di sebuah lorong gelap, satu meja yang tua dikelilingi kursi yang melingkar dengan satu name tag di atasnya, dengan ratusan buah pernak-pernik dan hiasan lampu pembawa tidur yang diklaim sangat indah. Di sampingnya telah berdiri sesosok gadis anggun berpakaian rapih, dan murah senyum kepada siapapun tanpa memandang ia mengenalnya atau tidak.. Aku berhenti,

“Ini tempat apa ya?” Tanyaku denga suara agak parau

“ini tempat jualan pernak-pernik dan hiasan lampu malam.” Jawabnya tak ragu “Kapan aja mba dagangnya kok ky g pasti?”

“Ya kapan aja kalo saya kosong kuliahnya.”

“Ini barang dagangan emba?”

“Bukan, ini milik organisasi, oleh organisasi dan untuk organisasi” Jawabnya dengan tegas

“Trus gw harus salto gitu?” dengn nad becanda

“hahaha..” Dan kamipun tertawa...

Penggalan cerita ini tak hanya berhenti disitu saja, tapi kali ini aku mulai skeptis dan menjadi benar-benar skeptis. “Mengapa ia begitu bersemangat bejualan hanya untuk sebuah organisasi? Bukankah itu amat membuang-buang waktu?  Mengapa ia begitu terlihat bahagia? Apa motivasinya? Siapa dia?”

Akupun mulai berfikir tentang manusia, sosial, dan umat. tentang guru-guruku telah banyak menjelaskan tentang hakikat manusia yang bersifat “simbiosis-mutualisme” tapi g ngefek di sendi-sendi kehidupanku.  Manusia tidak bisa berdiri sendiri dan secara tak sadar manusia memang tumbuh dalam kebersamaan.

Dalam kehidupan kita harus memiliki jiwa sosial dan belajar memikirkan umat, tak hanya memikirkan tentang bagaimana aku dalam 10, 20, tahun kedepan, tetapi kita harus turut memikirkan bagaimana sodara-sodaraku ini, desaku ini, bagsaku ini umatku ini,  dalam 5, 10, 20, 100, 200 tahun ke depan. Apa yang bisa kita perbuat untuk mereka? Bagaimana caranya?

Dan wanita itu telah menamparku...

Tamparannya telah meretakan keangkuhan dan keegoisanku slama ini

Tamparannya telah merobek dinding batas antara aku dan duniaku

Tamparannya melebihi tamparan Saefullah yang dulu pernah menamparku

Tamparan yang merubah hidup, merubah dunia dan pradigma lamaku terhadap cara pandang dalam melihat hidup.

Tapi kali ini aku ingin ditampar dengan tangan aslinya....

*True Story at UII, twitter @prof_azizi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline