Lihat ke Halaman Asli

Michael D. Kabatana

Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Secuil Sejarah Pemberian Label kepada Perempuan

Diperbarui: 21 Juli 2019   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perempuan pekerja keras. (pixabaycom)

Jika kita melihat dengan lebih melek sebenarnya sejarah kaum perempuan berkiblat pada sejarah pemberian label. Berbagai label disematkan, di satu sisi untuk memaknai keberadaan perempuan, tetapi di sisi lain serentak mendorong eksistensi kaum perempuan masuk dalam ruang obyek tindakan berpikir. 

Berbagai ahli dan filsuf menelorkan berbagai gagasan yang pada akhirnya melahirkan suatu label tentang identitas perempuan. Mereka tidak peduli apakah pihak perempuan setuju atau tidak,  suka atau tidak suka terhadap gagasan tersebut. 

Anehnya lagi adalah sangat sedikit konsep dan label dibangun untuk memaknai keberadaan laki-laki. Kalau pun ada, konsep itu tidak diperkatakan seramai dan seheboh konsep atau label yang disematkan kepada kaum hawa.

Konsep atau label yang diberikan kepada perempuan tentu saja ada yang memuat nilai positif tetapi tak jarang pula ada yang negatif. Anehnya, Konsep negatif seolah-olah akan lebih mudah diingat untuk diperkatakan dan lebih menarik diperbincangkan ketimbang konsep positifnya. 

Bangunan konsep negatif itu dapat kita jamah dengan akal budi dalam pemikiran Agustinus dan Freud. Perempuan adalah suatu bentuk kekurangan laki-laki, demikian ucap Agustinus teolog abad pertengahan. 

Secara implisit, kandungan makna yang ingin ditegaskan Agustinus adalah perempuan tidaklah lebih dari seorang laki-laki yang cacat sejak penciptaannya.

Pernyataan itu kian dipertegas Sigmund Freud dalam teori psikologi analisisnya. Bahwa pada usia tertentu, seorang anak perempuan mempunyai tendesi rasa iri kepada penis yang dimiliki oleh anak lelaki. 

ilustrsasi pribadi

Dari dua konsep ahli berbeda aliran ini, kita dapat mengerti bahwa ada tendesi mendiskreditasi keberadaan perempuan. Perempuan coba direduksi sebagai obyek dan makhluk kelas dua.

Pendapat para ahli ini tentu tidak lepas dari jaman dan kepribadian ahli yang mengatakannya. Sebagaimana dikatakan seorang filsuf bernama Hegel "setiap filsafat adalah produk samannya". Karena itu, dapat dimengerti bahwa kedua konsep di atas mestinya juga adalah produk samannya. Di mana saat itu, keberadaan perempuan kerap kali dinomorduakan.

Sebenarnya pendapat yang dicetuskan Agustinus tersebut merupakan bias dari pengalaman kelam yang dialaminya. Setelah pertobatanya, Agustinus yakin bahwa para pelacurlah yang menariknya ke ruang kedosaan.

Demikian pula Freud atas kritiknya terhadap perempuan merupakan buah dari pengalaman ketergantungan dan rasa suka kepada sepupunya bernama Paula. Freud merasa sakit hati karena di kemudian hari Paula menikahi pria lain. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline