Lihat ke Halaman Asli

Miarti Yoga

Konsultan Pengasuhan

Kehidupan adalah Mata Pelajaran

Diperbarui: 7 Juni 2020   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Sebagai orang tua yang anak-anaknya berada di jalur sekolah, saya tak ingin mengosongkan waktu di rumah untuk mengawal anak-anak belajar. Terlepas, ketika di sekolah ada ritual bertatap muka antara saya dengan anak saya dalam sebuah kelas/pelajaran. Saya tetap ingin membangun suasana belajar di rumah. Sesederhana apapun itu. Bahkan sesederhana "ngobrol" sekalpun. Kenapa?

Alasan pertama adalah, sebagai napak tilas untuk almarhumah ibu saya yang begitu getol mendampingi saya mengerjakan tugas-tugas sekolah. Tentunya, bukan karena mampu, melainkan karena ingin membantu memajukan anaknya. 

Dari mulai berhitung (matematika) dengan bantuan media sederhana berupa batangan kecil bambu-bambu, hingga belajar membuat kalimat. Bahkan dalam suasana khas mati lampu di sebuah "lembur". Terasa betul sebuah suasana "jadoel".

Pun untuk alamarhum bapak yang setia membelikan literatur, dari mulai buku-buku pelajaran, hingga majalah dan koran sesuai kebutuhan. Ingat betul, pembagian majalah yang bapak beli. Tabloid NOV* untuk ibu saya, koran Kom**s atau Pikir** R**yat untuk saya, tabloid "B*LA utuk kakak saya. Baru tersadar hari ini, bahwa itulah asupan literasi dari bapak untuk kami.

Hari ini, dengan segala kekinian dan percepatan teknologi, tersedia ragam media literasi untuk anak-anak. Dari mulai komputer, smartphone, buku-buku ensiklopedia dengan harga tak sederhana namun berbanding lurus dengan isi dan tampilan, hingga aplikasi-aplikasi kuis digital yang bisa kita kembangkan sesuka hati. Singkat cerita, melimpah.

Hal paling sederhana yang biasa saya lakukan pada anak-anak adalah meminta bantuan untuk megetik di tablet saya. Alasannya memang cukup masuk akal. Biasanya, pada saat saya mengerjakan tugas domestik (mencuci piring, memasak, dan lain-lain), namun ada hal mendesak yang harus saya jawab atau sampaikan. Atau pada saat saya sedang melayani si kecil (anak bungsu yang masih berusia batita) di mana dirinya tak berkenan saya memegang smartphone.

Pada kondisi demikian, saya meminta di antara dua kakaknya untuk membantu. Teknisnya, saya mendiktekan, anak saya yang mengetik. Dari kebiasaan tersebut, hal demikian pada akhirnya menjadi refleks ketika konteksnya berulang.

Dari sekadar diminta bantuan, tanpa sadar, lama kelamaan pada akhirnya menjadi semacam kuliah kaidah bahasa. Mereka biasanya bertanya penggunaan titik, koma, pembubuhan tanda Tanya, penggunaan huruf kapital. Semakin sering diminta bantuan, pertanyaan pun jadi melebar. Dari yang tadinya sebatas tanda baca, lalu melebar ke kata depan (konjungsi) dan awalan. "Nulis di-nya digabung atau dipisah?" Demikian anak saya biasanya bertanya.

Jawaban saya pun mengalir dengan sangat tidak formal. Saya jelaskan tentang di- yang penulisannya digabung atau dipisah. Sebuah kenikmatan mengajarkan kaidah bahasa Indonesia di ruang cuci piring. Dan saya yakini hal demikian sebagai mata pelajaran. 

Saya yakin bahwa, hal yang ada di dekat kita, itu dapat kita manfaatkan sebagai mata pelajaran. Terlebih saat kita megajak anak-abak memasak. Dari mulai "mengapa memasak santan harus harus diaduk" hingga tentang bagaimana efektivitas menanak nasi di "magic com" dengan bekal air mendidih. Itu semua kekayaan sains yang bisa mereka dapat. Meski sesederhana dari ruang dapur.

Pun untuk soal baca tulis. Meski di sekolah, pada saat usia TK atau kelas 1, mereka berinteraksi dengan pelajaran pra baca tulis, saya termasuk yang menikmati proses belajar membaca anak-anak. Sehingga atas izin Allah, di usia jauh sebelum masuk jenjang SD, dengan hanya bermodalkan membaca buku cerita, pada akhirnya berbonus bisa membaca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline