Lihat ke Halaman Asli

Miarti Yoga

Konsultan Pengasuhan

Anak Kita (Bukan) Penghalang Kita

Diperbarui: 23 Mei 2020   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Seorang ibu, geleng-geleng kepala sambil bermuka masam. Lalu menggerutu dengan nafas terengah. "Huhhhhhh. Ada-ada aja. Si bibi kok tiba-tiba gak masuk. Aku jadi ga bisa nga-ngapain nih. Aku harus ngurus anak seharian ini."

Di lain tempat dan waktu, seorang bapak berusia muda terlihat kesal sambail meracau; "Coba kalau kamu bangun dari pagi. Kamu gak bikin ayah kesiangan. Coba lihat jam? Jam berapa ini? Ayah kesiangan, tahu."

Pada lain tempat pula, terdapat konteks yang berbeda. Seorang ibu tengah menyesali urungya dia menempuh kuliah magister. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh kelahiran anak bungsunya. Sehingga dengan adanya dia mengasuh bayi, maka dia tak bisa berkegiatan.

Pun, sebagai orangtua, seringkali kita dihadapkan pada stuasi-situasi yang dilematis.

Contoh: Saat hendak berangkat kerja, tiba-tiba si kecil BAB. Padahal kondisi kita da;am keadaan rapi dan agak kurang representatif untuk ke kamar kecil membersihkan BAB-nya si kecil.

Atau, saat kita tengah menikmati makan minum, tiba-tiba dua nak kita bertengkar layaknya Tom dan Jerry. Kita yang tengah menikmati santap malam, dibuat migrain mendengar mereka saling adu mulut dan baku pukul.

Bisa juga, saat hendak menempuh sebuah agenda seperti seminar, pelatihan, dan atau sejenisnya. Dan kita sangat berharap besar dapat mengikuti agenda tersebut.

Namun sayang, begitu mencoba kontak sana-sini (orangtua, saudara, dan lain-lain), tidak ada yang ketepatan dititipi. Kita pun dibuat galau setengah mati.

Bahkan bukan tak ada, -atau biasa jadi di antara kita- masih menganggap anak sebagai sebuah penyebab prinsip atas gagalnya rencana-rencana kita. Contoh:

  • "Gara-gara aku punya anak lagi, aku jadi urung deh melanjutkan kuliah. Padahal awalnya semangat betul dan sudah disiapkan jauh-jauh hari."
  • "Akhirnya, kuputuskan untuk resign dari tempat kerja, gara-gara anakku gak ada yang pegang. Jadi yaa, terpaksa aku jadi full time mother."
  • "Sebetulnya aku sangat betah ikut aktif dalam organisasi tersebut. Tempat aktualisasi diri, begitulah tepatnya. Namun apa daya. Kini aku punya si kecil. Aku gak bisa ke mana-mana. Suamiku menyuruh aku untuk duduk diam di rumah. Menjaga anak-anak."

Hmmmmm. Sekilas, sekelebat, rangkaian keluhan itu seolah wajar. Tetapi, ada ketaksadaran di balik berubahnya rencana-rencana. Ada ketidakikhlasan di balik ekspektasi-ekspektasi yang tertunda. 

Dan seharusnya, idealnya, sejatinya, berakhirnya kita dari sebuah aktivitas adalah karena niat tulus kita untuk bisa lebih tukmaninah membersamai anak-anak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline