Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

TERVERIFIKASI

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Kerja Hybrid Merupakan Jalan Tengah WFH dan WFO

Diperbarui: 14 Januari 2023   07:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image: Harapan insan perusahaan terhadap pengaturan kerja pasca pandemi (File by Merza Gamal)

Pencabutan PPKM di Indonesia membuat imbauan bekerja dari rumah (WFH) tak lagi relevan, dan banyak tempat kerja meminta para pekerja untuk kembali bekerja luring di kantor (WFO).

Namun, waktu dua setengah tahun telah membuat banyak perubahan budaya kerja. Jika di awalnya pada kebingungan dengan bekerja dari rumah, maka saat ini malah banyak yang merasa nyaman bekerja dari rumah. Sehingga, tidak sedikit yang keberatan untuk diminta kembali bekerja penuh waktu di kantor.

Masa pandemi Covid-19 telah menyadarkan sebagian orang dalam menyikapi pekerjaan mereka. Saat-saat PSBB yang berlanjut dengan PPKM telah membuat sebagian perkerja menyadari untuk memisahkan kehidupan kerja dengan kehidupan keluarga. Namun, ada pula yang menyukai untuk menyatukan pekerjaan dan kehidupan sepanjang hari.

Para pekerja yang memilih yang pertama adalah pemecah kehidupan kerja yang disebut sebagai "splitter", sementara  mereka yang memilih yang kedua adalah pencampur kehidupan kerja yang dikenal sebagai "blender".  Para "splitter" lebih memilih WFO agar bisa berkonsentrasi dalam bekerja, sementara para "blender" lebih suka dengan WFH agar sambil bekerja tetap bisa mengurusi keluarga.

Survei demi survei menunjukkan bahwa pemberi kerja sangat berharap para pekerja mereka akan kembali ke kantor secepat mungkin. Sementara di sisi pekerja, tidak terlalu banyak yang berharap untuk bekerja penuh waktu di kantor karena berbagai alasan termasuk kesehatan, keluarga, dan keseimbangan kehidupan kerja. Sebagian pekerja, terutama Milenial/Gen Y Muda (kelahiran 1988-1996) dan Gen Z (1997-2010) lebih suka tetap WFH. Mereka, para pekerja muda tersebut semakin memegang lebih banyak tawar-menawar dalam debat besar yang sedang berlangsung tentang masa depan model tempat kerja.

Para pekerja muda tidak menginginkan bekerja penuh waktu di kantor. Mereka memilih untuk bekerja hybrid seperti yang dipraktekkan selama dua tahun terakhir, dimana jutaan orang dan organisasi di seluruh dunia dipaksa melakukan kerja virtual hybrid. Banyak perusahaan dan organisai baru untuk pertama kalinya melakukan perkerjaan hybrid karena adanya pandemi Covid-19.

Penelitian terbaru McKinsey memperkuat gagasan bahwa kerja hybrid akan tetap ada. Lebih dari 75% pekerja responden survei yang bekerja dalam model hybrid selama dua tahun terakhir lebih suka mempertahankannya untuk berlanjut di masa mendatang. Hanya 25% pekerja yang benar-benar ingin kembali bekerja penuh waktu di kantor (WFO). 

Pada saat ini, tidak sedikit organisasi diganggu oleh kelelahan yang memicu kejenuhan (burnout), masalah kesehatan mental, dan mencatat jumlah insan perusahaan yang meninggalkan pekerjaan mereka. Oleh karena itu, para pemimpin yang melihat pekerjaan tatap muka (WFO) sebagai kembali normal harus menghadapi betapa kuatnya perasaan insan perusahaan tentang model tempat kerja yang fleksibel dan pertumbuhan mereka.

Survei McKinsey dan juga survei Gallup  menemukan bahwa insan perusahaan saat ini yang lebih menyukai model hybrid dan mengatakan bahwa mereka cenderung mencari peluang lain jika diminta untuk kembali sepenuhnya ke kantor. Survei-survei tersebut juga menemukan   pengalaman insan perusahaan dengan sistem kerja hybrid selama pandemi sangat bervariasi di bidang-bidang utama, seperti rasa inklusi dan keseimbangan kehidupan kerja.

Penelitian McKinsey mengidentifikasi kelompok yang lebih menyukai pekerjaan hybrid dan mengatakan bahwa mereka kemungkinan besar akan keluar jika dipaksa kembali kerja penuh waktu di kantor adalah:

  • Insan perusahaan yang lebih muda (18--34 tahun) memiliki kemungkinan 59 persen lebih besar untuk keluar daripada insan yang lebih tua (55--64 tahun);
  • Kaum pelangi memiliki kemungkinan 24 persen lebih besar untuk keluar daripada insan perusahaan yang heteroseksual;
  • Kaum perempuan kira-kira 10 persen lebih mungkin untuk keluar dibandingkan laki-laki;
  • Insan perusahaan penyandang disabilitas memiliki kemungkinan 14 persen lebih besar untuk keluar daripada insan yang tidak disabilitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline